Wasiat Bagong

 

Bagong naik ke lantai atas. Dari teras beratap separuh itu, ia duduk termenung. Awan yang tergores cahaya matahari, tak mampu mengalihkan lamunannya. Ia hanya memandang merah senja seolah mengatakan, “Janganlah dikau menghilang sebelum mendengar kisah haruku.”

Bagong tak terima dengan keadaan. Takdir yang sudah tergariskan, berusaha ia tolak dengan beragam argumentasi. Bagaimana mungkin, seseorang yang bukan saja ikut, tapi memunculkan ide dan inspirasi, begitu mudah ditenggelamkan? Bagaimana mungkin, seseorang yang telah membawaku kemari, mengalami nasib yang sulit kuterima? Alasan apakah gerangan yang terucap, untuk seseorang yang bahkan rumahnya pun tak bisa dipisahkan dari… Tuhan macam apakah gerangan?

Di bawah sana, burung tengkek biru sedang bertengger di pelepah kirai. Dengan malas, ia intai beong–anakan gabus–yang berjibun di permukaan air. Ia tak takut dengan induk gabus yang ganas. Ia pikir itu adalah garis takdirnya, harus memangsa anak-anak gabus. Keikhlasanmu, wahai Sang Gabus, akan menaikkan derajatmu di sisi-Nya.

Ilmuwan menyebutnya rantai makanan. Siapa yang lemah, bersiaplah untuk dimangsa oleh yang kuat. Manusia menduduki puncak tertinggi di bawah Tuhan. Malaikat tak ada… Ah, tengkek… Gengkek… Semoga tak tengik karena kerakusanmu.

“Mana kopimu, Gong? Kalau kau seorang diri dan melamum seperti itu, hati-hati,” kata Petruk.

“Kenapa?”

“Kalau kau bunuh diri dari atas sini, siapa yang harus bertanggungjawab dengan istri dan kedua anakmu?”

“Kau lah, siapa lagi?”

“Eitss…”

Petruk turun dan tak lama kemudian kembali dengan dua gelas kopi. Ia masih mengamati wajah kosong teman yang ada di depannya itu. Mentari hanya tersisa separuh. Sangat merah, seolah jadi rambu lalu lintas, “stop lamunanmu!”

“Truk, dia itu kan senior kita. Dia juga yang membawa kita kemari. Pernahkah dia membiarkan kita kelaparan di sini? Ingat ‘kan, bahkan ketika teman kita ribut dengan pak RT karena jejakanya menolak kejaran si Joleha, dia juga yang beresin?”

“Dasar Joleha saja yang ganjen. Memangnya gak ada cowok lain apa? Kayaknya aku lebih baik daripada cowok kampung itu.”

“Ya elah, siapa pula yang mau dengan orang yang gak jelas. Ngaca dong, kau nih!”

Mereka meniti lamunannya masing-masing. Bagong memaki-maki dirinya kenapa situasinya begitu problematis. Jika dia bela kakak tingkatnya, ia akan dengan mudah tersingkir seperti kapuk randu yang tertiup bayi badai. Jika ia berdiam diri, batinnya tersiksa. Ia tak lagi bisa minum kopi di teras sekolah sambil main gitar, menyayikan lagu gereja tua atau sabtu malam kusendiri.
“Truk…”

“Ya…”

“Kalau aku berpapasan dengannya, jiwaku seolah tersentak ingin kabur.”

“Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan. Nanti juga akan baik-baik saja. Tuhan itu tak akan menguji hambanya kecuali kita pasti bisa mengatasinya? Betul, kan?” kata Petruk.

Bagong keras meremas gelasnya. Kalau bukan di depan Petruk, sahabat sejatinya, mungkin gelas itu sudah berantakan karena bantingan.

“Karena dia semuanya bermula.”

“Sombong itu, Gong, namanya.”

“Manusia disuruh berakhlak dengan akhlak tuhan. Kau suruh aku berbelas kasih karena Dia itu Rahman Rahim. Kau suruh aku adil karena Dia yang Maha Adil. Lah, Dia kan juga sombong, kok aku…”

“Gong, kita ini berbeda dengan Dia.”

“Yang bilang sama siapa? Wong aku hanya menunjukkan sedikit duduk permasalahannya. Kau saja yang lebay menganggapku sombong.”

Bagong berdiri menikmati semburat lembayung di ufuk barat. Lantunan salawatan anak kecil mulai terdengar. Entahlah, apa pun yang keluar dari anak-anak, bahkan syair dan lagam yang salah, tetap terasa indah dinikmati. Jangan coba-coba membandingkan dengan nenek dan kakek-kakek itu, ya. Pamali. Kau bisa sakit bisul tanpa sebab. Hanya saja, masjid dan musala akan terlihat seram tanpa kehadiran anak-anak berikut kejahilannya.

 

“Apa rencanamu, Gong?” tanya Petruk.

“Sebelum subuh, aku akan demo tidur pulas seharian di depan pintu kantor. Jika kau tak mampu membangunkanku, kuwasiatkan padamu untuk jaga anak dan istriku,” tegas Bagong.

Petruk sebenarnya ingin menyela, kalau dititipi istrinya tak jadi masalah, tapi sungguh berat jika harus memelihara si “kecebong-kecebong” itu. Ia biarkan Bagong nerocos karena tak ingin terlempar dari lantai atas.

“Siap Truk?”

Diam. Senyap.

“Hanya ini satu-satunya jalan membalas budinya. Aku sudah muak hidup bersama orang-orang sepertimu. Bilang bela-belain, ngacir begitu dibentak.”

“Gong…”

“Apa?” pelotot Bagong.

“Awas kalau kau sampai tak memenuhi amanahku. Di alam baka pun kan kucari!”

“Gong…”

“Apa?”

“Seb…seb…sebenarnya, a…ak…akk…akkkuuu…e…e…”

Allahu Akbar…Allahu Akbar…

 

Selasa, 12 September 2017

Hadi Surya