Barangkali setiap Kamis menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Cerdik Cendekia memutuskan untuk belajar di rumah adik-adik. Selain untuk mengakrabkan diri, juga agar sedikit mengetahui kehidupan sehari-hari mereka, siapa tahu bisa berguna.
Adik-adik sudah berdatangan sebelum Bu Guru datang. Mungkin mereka kaget melihat aula yang dijejali bangku dan kursi belajar. Atau justru bergembira karena tak bakal lagi belajar sambil berguling-guling seperti di atas rerumputan. Namun tergantung selera, setidaknya ada pilihan. Siapa jamin?
Kali ini, 7 September 2017, adik-adik Cerdik Cendekia akan belajar di tempat “Trio Curug” yaitu Dina, Saroh, dan Zahra. Mereka memutuskan untuk segera berangkat. Jalan pagi–tak kurang dari setengah jam–akan terasa ringan sebelum mentari menyengat. Rico segera mengomando agar teman-temannya membentuk lingkaran untuk berdoa sembari berdiri. Mereka menjadi tontonan kakak-kakak kelas, karena begitu selesai berdoa, mereka satukan jemari–seperti para pemain bola yang akan memulai laga–sambil melepas teriakan, “Cerdik Cendekia. Yes!” Mereka berangkat tanpa ditemani seorang guru pun.
Jalan menuju rumah Trio Curug begitu berliku. Jika tak terbiasa akan mudah sekali tersesat. Entah karena alasan apa, ketiga anak ini memutuskan belajar di Cerdik Cendekia, sama seperti kenapa Cerdik Cendekia didirikan. Tak bisa menolak anak yang ingin mencari ilmu. Bagi mereka, karena suka saja. Betapa sederhana alasan kami.
Dina, tak bertemu ibunya karena harus bekerja dan hidup bersama neneknya, yang begitu melihat adik-adik dan Bu Guru, langsung menciumnya. Tak sulit dibayangkan betapa kehidupannya semasa kecil pasti dipenuhi canda ria dan eratnya persahabatan. Keramahan masyarakatnya bisa dijamin hanya karena kesundaannya. Coba bandingkan dengan kehidupan sekarang. Adakah pergeseran nilai-nilai pedusunan?
Dina, si pendiam namun tangkas ini, menjalani kesehariannya di rumah panggung sederhana. Tak disangka, rumah yang biasa ditemukan belasan tahun silam di sekitar sekolah, masih didapati di tetangga kampung Babakan.
Jika ada murid yang paling sering tak masuk, Zahra lah orangnya. Jangan membayangkan tidak masuknya sampai berhari-hari, karena murid-murid Cerdik Cendekia pantang absen, setidaknya hingga detik ini. Zahra bicaranya cepat dan terkadang mengintimidasi, mungkin karena ia tergolong anak manja. Ia anak kedua, kakaknya telah menikah, adiknya kelas satu SD dan _dibontoti_ seorang bayi.
Jeda yang begitu panjang di antara saudaranya, membuat Zahra menjadi ratu serumah. Kok bisa? Rupanya orang tua Zahra melakukan program Keluarga Berencana (KB). Ibunya dari Bekasi dan ayahnya penduduk asli Ciseeng. Mereka bertemu saat sama-sama bekerja. Keren ya.
“Gong… Gong… Rupanya kamu yang menulis. Mengada-ada apa tidak? Bagaimana kelanjutannya? Kok malah melamun?”
“Aku teringat bekas muridku dulu, yang sepuluh tahun lalu memutuskan menikah. Masih belia.”
“Terus kenapa?”
“Ia putuskan untuk menenggak pil KB agar tak punya anak dulu.”
“Buat apa nikah?”
“Ih, kau nih.”
“Terus? terus?”
“Ah, ingin tahu saja. Lihat-hat-hat… Baterai, baterai… Aduh mana saroh belum pula.”
“Bagooooooooooooong…”
Kamis, 7 September 2017
Hadi Surya