Semangat si Budi

Selesai mengisi angin ban sepeda barunya, Budi kembali duduk disampingku. Di teras rumah Cak Hadi, siswa kelas tujuh sekolah menengah pertama itu mulai bercerita padaku. Anak itu pendatang baru di kampung ini. Masa kecilnya kelam ditindas kawan sekolahnya. Budi terlanjur dilebeli bodoh sebab nilai nilai yang wajib dia kejar tidak memenuhi syarat pintar di sekolah.

Nalarku gagal menerima. Budi jelas bersekolah untuk menjadi pintar, bukan untuk berjejal nilai yang mesti dia kejar. Bukan menyekolahkan bakat, Budi sibuk mengurusi kelemahan. Bakatnya justru terpendam ditelan bobroknya sistem pendidikan. Padahal, setiap kita lahir dengan bakat dan kemampuan berbeda-beda. Budi nyaris kehilangan kepercayaan diri. Dalam hal ini, sekolah wajib bertanggung jawab atas kegagalannya menemani masa belajar Budi.

Di sekolah barunya, Cerdik Cendekia. Jarak dari rumah Budi menuju sekolah yang jauh, tidak juga menyulutkan nyalinya berjalan kaki. Di kelas, Budi justru terlihat menonjol dibanding teman temannya. Kemauan belajarnya membara, mengobarkan api-api keingintahuan. Dari wajahnya, Budi selalu terlihat bersemangat. Sepeda baru, yang sebetulnya bekas itu, adalah monumen kecil dari sekolah untuk semangatnya menggali ilmu.

Saat latihan teater, Budi memang terlihat gugup menghadapi perannya. Tak terkecuali saat malam pentas tiba. Dialognya begitu terbata-bata. Wajahnya tegang. Aktingnya berantakan. Namun, semangatnya terus membakar keberanian. Budi berusaha menembusi batasnya sendiri. Wajah tegangnya perlahan mengendur. Hingga Budi berhasil menguasai panggung. Semangatnya pun seolah bicara padaku:

“Aku Budi! Dan aku bisa menguasai panggung hidupku!”

Minggu, 24 September 2017
Luqman l-Hakim