Presiden Amerika yang tak Lulus Sekolah

ABRAHAM Lincoln adalah sosok luar biasa yang menembus batasan zamannya. Dilahirkan pada 12 Februari 1809 di sebuah kabin kayu kecil di Kentucky, ia tumbuh dalam kemiskinan dan hampir tidak memiliki akses ke pendidikan formal. Meskipun demikian, perjalanan hidupnya menunjukkan bahwa kegigihan, rasa ingin tahu, dan tekad dapat mengalahkan segala keterbatasan.

 

Lincoln tumbuh di lingkungan yang keras. Ayahnya, Thomas Lincoln, adalah seorang petani miskin yang sering berpindah tempat mencari lahan yang lebih baik. Kehilangan ibunya, Nancy Hanks, saat ia berusia sembilan tahun menjadi pengalaman yang membentuk pandangan hidupnya. Ayah tirinya, Sarah Bush Johnston, memberikan dorongan moral yang signifikan, tetapi akses Lincoln terhadap pendidikan formal tetap minim. Ia hanya menerima total kurang dari satu tahun sekolah formal, sebuah hal yang nyaris mustahil bagi seseorang yang kelak menjadi pemimpin negara besar.

 

Kekurangan pendidikan formal tidak menghentikan Lincoln untuk belajar. Ia adalah seorang pembaca yang rakus dan haus akan pengetahuan. Ia menghabiskan malamnya dengan membaca buku-buku klasik seperti Alkitab, karya Shakespeare, dan The Life of George Washington karya Parson Weems.

 

Dari bacaan ini, Lincoln mendapatkan wawasan mendalam tentang moralitas, sejarah, dan kepemimpinan. Buku-buku yang ia baca membentuk karakter dan pemikirannya, serta memperluas wawasan yang tidak ia dapatkan dari bangku sekolah.
Sebagai seorang pemuda, Lincoln melakukan berbagai pekerjaan kasar, termasuk menjadi pemotong kayu, pekerja di kapal barang, hingga pegawai toko. Namun, ia tidak pernah berhenti belajar.
Melalui usaha mandiri, ia berhasil menjadi seorang pengacara meskipun tidak pernah masuk ke sekolah hukum. Ia belajar hukum dengan membaca buku-buku di waktu luangnya dan akhirnya diizinkan untuk mempraktikkan hukum di Illinois pada usia 27 tahun.

 

Kejujuran, kesederhanaan, dan kecerdasannya membuat Lincoln cepat dikenal di dunia politik. Ia memulai karier politiknya sebagai anggota legislatif negara bagian Illinois pada 1834, sebelum akhirnya
menjadi anggota Kongres pada 1847. Lincoln dikenal sebagai seorang orator ulung yang mampu menyampaikan ide-idenya dengan cara yang menginspirasi. Dalam setiap pidatonya, ia sering menggunakan bahasa sederhana yang mudah dimengerti rakyat jelata, tetapi penuh dengan makna mendalam.

 

Menuju Kursi Presiden Amerika Serikat

LINCOLN bukanlah pilihan utama dalam Partai Republik untuk pemilihan presiden 1860. Pada saat itu, ia dianggap sebagai kandidat “underdog” dibandingkan nama-nama besar seperti William H. Seward, mantan gubernur dan senator dari New York. Namun, Lincoln membawa keunggulan unik: ia berasal dari negara bagian perbatasan (Illinois), memiliki latar belakang sederhana, dan terkenal dengan orasi yang memikat, seperti pidato “House Divided” pada 1858. Pendekatannya yang moderat terhadap isu
perbudakan membuatnya menjadi pilihan kompromi yang dapat diterima oleh banyak faksi dalam partai.

 

Dalam Konvensi Nasional Partai Republik di Chicago, Lincoln berhasil menggalang dukungan luas dengan bantuan tim kampanyenya yang solid. Melalui strategi cerdik, ia memenangkan nominasi pada putaran ketiga, mengalahkan kandidat yang lebih terkenal. Hal ini menandai langkah besar Lincoln menuju kepresidenan.

 

Pemilihan 1860 berlangsung dalam suasana politik yang sangat tegang, terutama karena
perpecahan isu perbudakan antara negara-negara bagian Utara dan Selatan. Lincoln menghadapi tiga lawan besar: Stephen A. Douglas dari Partai Demokrat Utara, John C. Breckinridge dari Demokrat Selatan, dan John Bell dari Partai Persatuan Konstitusional.

 

Meskipun tidak banyak melakukan perjalanan kampanye seperti calon lain, Lincoln menggunakan
kekuatan tulisannya dan dukungan dari media lokal. Ia dikenal dengan sikapnya yang jujur dan fokus pada pesan persatuan, menyuarakan pandangannya bahwa Amerika tidak dapat bertahan sebagai bangsa yang terpecah oleh perbudakan.

Salah satu kutipan terkenalnya adalah:

“A house divided against itself cannot stand. I believe this government cannot endure permanently half slave and half free: Sebuah rumah yang terpecah melawan dirinya sendiri tidak akan bisa bertahan. Saya percaya bahwa pemerintahan ini tidak dapat terus hidup selamanya jika separuhnya mendukung perbudakan dan separuhnya menolak perbudakan.”

 

Lincoln memposisikan dirinya sebagai simbol harapan bagi negara yang terpecah, meskipun pidato-pidatonya membuatnya menjadi target kebencian di Selatan.

 

Setelah Lincoln terpilih pada November 1860, Amerika segera berada di ambang kehancuran. Sebelum ia dilantik, tujuh negara bagian Selatan, dipimpin oleh Carolina Selatan, memisahkan diri dari
Amerika Serikat dan membentuk Confederate States of America. Presiden saat itu, James Buchanan, tidak
mampu menghentikan langkah tersebut, membuat Lincoln mewarisi krisis besar.

 

Dalam pidato pengukuhannya pada Maret 1861, Lincoln dengan penuh hati-hati menyampaikan pesan persatuan tanpa provokasi. Ia menegaskan bahwa ia tidak berniat menghapus perbudakan di negara-
negara bagian tempat praktik tersebut sudah ada, tetapi juga menolak legitimasi pemisahan diri. Dengan kata-kata yang menggugah, ia berkata:

 

We are not enemies, but friends. We must not be enemies. Though passion may have strained, it must not break our bonds of affection: Kita bukanlah musuh, melainkan teman. Kita tidak boleh menjadi musuh. Meskipun emosi mungkin telah menegangkan hubungan kita, itu tidak boleh memutuskan ikatan kasih sayang di antara kita.”

 

Pidato itu menunjukkan kemampuan Lincoln untuk berbicara sebagai pemimpin yang
mengutamakan persatuan, meskipun perang saudara tidak dapat dihindari.
Lincoln menggunakan kecerdikannya dalam politik untuk membentuk kabinet yang kuat meskipun berisi orang-orang dengan pandangan berbeda, termasuk mantan saingannya, William H. Seward, yang ia
tunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Lincoln percaya pada pendekatan inklusif, meskipun sering kali menghadapi kritik tajam dari orang-orang di sekitarnya. Buku terkenal Team of Rivals oleh Doris Kearns.

 

Goodwin menggarisbawahi bagaimana Lincoln memanfaatkan perbedaan pandangan dalam kabinetnya untuk mencapai keputusan yang terbaik bagi bangsa.

 

Saat Lincoln dilantik sebagai Presiden ke-16 Amerika, ia menghadapi ancaman pembunuhan yang sangat nyata. Dalam perjalanan ke Washington D.C. untuk pelantikannya, ia harus melalui kota Baltimore secara rahasia karena ada laporan rencana pembunuhan dari kelompok pro-Selatan. Bahkan setelah
menjadi presiden, Lincoln terus berada dalam bahaya.

 

Selain itu, ia juga menghadapi tekanan pribadi yang besar. Lincoln sering dilanda depresi karena tanggung jawab yang luar biasa besar, ditambah dengan krisis dalam keluarganya, termasuk kesedihan atas kematian anaknya yang masih kecil, Edward, pada 1850-an.

 

Pada April 1861, hanya beberapa pekan setelah Lincoln menjadi presiden, tentara Konfederasi menyerang Fort Sumter di Carolina Selatan, memicu pecahnya Perang Saudara Amerika. Peristiwa ini menjadi ujian terbesar dalam hidupnya.

 

Lincoln mengambil langkah berani dengan memanggil 75.000 tentara untuk mempertahankan persatuan bangsa. Meskipun ia menghadapi kritik dari berbagai pihak—baik dari Utara yang menganggapnya terlalu lemah maupun dari Selatan yang melihatnya sebagai ancaman—Lincoln tidak goyah dalam komitmennya untuk menjaga integritas Amerika Serikat.

 

Perjuangan Abraham Lincoln untuk menjadi presiden bukan hanya tentang memenangkan pemilu, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai yang ia yakini dalam menghadapi perpecahan bangsa. Ia  adalah simbol keteguhan dalam menghadapi tantangan, seorang pemimpin yang tidak gentar untuk mengambil keputusan sulit demi menjaga persatuan. Pencapaiannya dalam memimpin bangsa melaluikrisis ini membuktikan bahwa kepemimpinan yang penuh integritas dapat mengatasi tantangan terbesar sejarah.

 

Kepresidenan yang Mengubah Amerika

Lincoln diangkat menjadi Presiden Amerika Serikat ke-16 pada 1861, tepat ketika bangsa itu di ambang perpecahan akibat isu perbudakan. Perang Saudara Amerika yang pecah pada tahun yang sama menjadi ujian terbesar bagi kepemimpinannya. Lincoln menolak menyerah pada perpecahan dan terus memperjuangkan persatuan negara. Pidato Gettysburg-nya, yang disampaikan pada 1863, menjadi salah satu momen paling bersejarah, mencerminkan visinya tentang demokrasi dan persamaan hak.

 

Salah satu pencapaian terbesar Lincoln adalah pengesahan Emancipation Proclamation pada 1863, yang membebaskan jutaan budak di Amerika Serikat.  Kebijakan ini tidak hanya mengubah arah Perang Saudara, tetapi juga mencerminkan keyakinannya bahwa semua manusia memiliki hak untuk hidup merdeka. Meskipun menghadapi banyak oposisi, Lincoln tetap teguh pada prinsipnya bahwa perbudakan adalah dosa moral yang tidak dapat dibiarkan dalam sebuah bangsa yang mengaku menjunjung tinggi
kebebasan.

 

Lincoln adalah simbol ketahanan dalam masa-masa terberat bangsa. Ia memimpin dengan penuh empati dan rasa kemanusiaan, sering mengunjungi tentara di medan perang untuk memberikan semangat. Ketika Amerika Serikat terpecah belah, ia menjadi sosok ayah yang berusaha menyatukan kembali. “keluarga besar” yang hancur. Keputusannya sering diambil dengan pertimbangan moral yang dalam,
tetapi ia juga tahu kapan harus bertindak tegas demi kebaikan bangsa.

 

Tragisnya, Lincoln tidak sempat melihat hasil penuh dari perjuangannya. Ia dibunuh pada 14 April 1865 oleh John Wilkes Booth, hanya beberapa hari setelah Perang Saudara berakhir. Namun, warisanbLincoln tetap hidup. Ia dikenang sebagai pemimpin yang tidak hanya menyelamatkan Amerika dari
kehancuran tetapi juga mengangkat martabat bangsa dengan menghapus perbudakan.

 

Kisah Abraham Lincoln adalah bukti bahwa pendidikan formal bukan satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Dengan tekad yang kuat, kecintaan pada belajar, dan semangat pengabdian kepada rakyat, ia mengubah dirinya dari seorang anak petani miskin menjadi pemimpin salah satu bangsa paling berpengaruh di dunia. Bagi banyak orang, ia adalah simbol harapan bahwa siapa pun, tidak peduli dari mana asalnya, dapat mencapai hal-Lncoln tidak hanya memimpin Amerika melalui masa-masa kelam, tetapi juga memberikan Teladan tentang bagaimana kepemimpinan sejati membutuhkan integritas, keberanian, dan cinta kepadaakyat. Ia adalah bukti nyata bahwa seseorang yang lahir dalam kesederhanaan dapat mengukir sejarah
yang abadi. []

 

Ren Muhammad