Sahabat, jika kau simak siapa Bagong itu, ketahuilah kalau dia orang yang aneh. Orang-orang pergi ke selatan, dia bisa ke timur, tenggara, selatan, atau barat daya. Kala teman-temannya berlomba menikah, dia bercita-cita selibat dengan hanya memanjangkan rambutnya. Kuyakin itu karena dia sendiri tak becus mengurus diri. Wong baju untuk kuliahnya saja hanya sekali tersentuh setrika. Itu pun di hari lebaran dan dia terkatung-katung di kampusnya karena tak ada uang untuk mudik. Cita-cita yang bagi banyak orang tentu terdengar aneh. Ia mungkin terlalu kaku memahami pesan leluhur, ojo madon.
Jaman sekarang untungnya tak ada undang-undang yang melarang cita-cita. Tapi kalau Sahabat mau usul harus ada larangan cita-cita, itu ide bagus. Misalnya larangan bercita-cita menjadi koruptor, atau penggosip, atau perompak, atau mo limo. Sahabat boleh pakai dalil tak boleh panjang angan apalagi tangan. Inovatif, ‘kan?
Satu yang jelas, Bagong ini orangnya sungguh bebal, pekak, pekok, konyol, dan tak tahu diri. Orang jawa bilang, nggludur, karena otaknya bukan di dengkul lagi, tapi melorot nyaris sampai mata kaki. Bisa dibayangkan kalau Sahabat beri nasihat, mata dan wajahnya tampak serius, tapi jangan salah, jangan tertipu, dan tak usah marah jika semuanya akan ia anggap angin lalu. Pokoknya tak ada istimewanya sama sekali kecuali semua yang di atas itu. Jadi jangan sekali-kali berharap ia akan bisa Sahabat tunggangi apalagi sampai memerah susunya. Hanya akan menghabiskan energi saja. Wong dia sendiri kurang asupan gizi.
Nah, karena ke-nggludur-annya itu, jika dilarang pun hanya akan membuat si pelarang sakit hati, atau setidaknya jengkel. Kalau sakit hati mungkin agak susah diobati, tapi kalau hanya jengkel, masih bisa tersenyum saat bersua, apalagi bagi orang-orang yang sudah lulus ban hitam teater terapi. Jangankan menertawakan orang lain, ia bahkan bisa menertawakan dirinya sendiri hanya karena kegoblokannya yang menjerumuskan hidupnya ke dalam lumpur ketololan itu. Aneh, ‘kan? Sahabat jangan ikut-ikutan tolol, karena mahal harganya. Salah-salah, hidup keblangsak.
Sekarang coba kita lihat pasca keputusan dewan tertinggi Kahyangan City Peduli tentang pembubaran sekolah rakyat Pertama Emprit Tertawa Riang, yang setara SMP atau tsanawiyah itu.
Sembilan tahun yang lalu, Bagong sudah diperingatkan untuk tidak mengadu langsung pada Dewa Ndaru.
“Bagong, lain kali kalau ada masalah, jangan langsung ngomong ke Kanjeng Dewa Ndaru. Kita duduk bareng di sini saja. Masa kita tak bisa selesaikan sendiri. Ingat, Gong?”
Lagi-lagi saat bertemu demit semlohai, Bagong tak tahan menyimpan rahasianya, “Saya enggak bilang iya, enggak bilang tidak. Saya kan hanya senyum.”
Kegegeran Bagong waktu itu lantaran sok pedulinya Bagong pada pengasuh santri balita yang hanya mendapatkan uang jajan. “Kanjeng Dewa Ndaru, jaman sudah berubah. Kasihan tukang gincu, minyak ketek dan pembalut yang ngider sampai pelosok kampung kami kalau tak ada yang beli. Lebihi sedikit uang jajan pengasuh itu, kenapa?” Aduan Bagong ini entah kenapa malah menjadi masalah langit kahyangan. Sementara Bagong sama sekali tak merasa membuat ulah.
Nah, entah lupa atau pura-pura lupa, sembilan tahun kemudian pesan larangan itu ia langgar beberapa hari lalu. Itu pun kalau mau disebut melanggar. Sebab dengan rasa percaya dirinya, Bagong merasa masih punya ikatan batin antara guru dan murid dengan Dewa Ndaru.
“Hamba tidak becus mengurusi padepokan Emprit Jingga, Kanjeng Dewa Ndaru…” lagi-lagi bikin gempar dunia kahyangan. Masih ingat, ‘kan, Sahabat? Padahal Bagong sendiri ketika saya berkesempatan bertemu-kangen, ia katakan tak bercita-cita menjadi tukang adu. Lah wong anaknya menonton sabung ayam saja langsung kabur karena ia pelototi. Nampaknya kali ini Bagong melanggar pesan larangan tadi. Bahkan sangat mungkin itu berdasarkan kesadaran penuh ke-nggludur-annya.
***
Sekarang, kita tengok dulu bagaimana suasana terkini di Bagong’s Emprit Jingga.
Sejak awal bulan, meski baru gajian, Padepokan Emprit Jingga justru mulai menampakkan kegelisahannya. Sebagian pengurus padepokan menimang-nimang apakah terus lanjut kerja ataukah tidak. Tentu saja situasi seperti ini tak mudah, di tengah ketatnya kompetisi pencari kerja. Di luar sana, peluang terbesar boleh jadi hanya dimiliki oleh para peragawan-peragawati yang bersedia untuk menyelibat seperti cita awal Bagong. Tak manusiawi juga tak berperi-kehewanian memang, tapi itulah tuntutan pasar.
Di padepokan Emprit Jingga, situasinya mulai berubah. Siang tampak lengang, berganti kehidupan malam yang kian semarak. Yang awalnya tak rajin tahajud, sedia kopi teko bercangkir-cangkir. Yang tadinya meringkuk di samping istri, klepas-klepus cap klobot berbungkus-bungkus. Yang tadinya tak punya pikiran aneh-aneh, tak nglepus tak ngopi, mulai mencari ide-ide, menyusun beragam strategi baru. Siapa tahu suatu saat nanti dibutuhkan. Bagong? Jangan tanya bagaimana dia. Orang nggludur mana mau peduli, bahkan terlalu percaya diri.
“Kalian sepertiku sekaligus bukan,” katanya menyemangati teman sejiwa dan seperjuangannya agar melamar lagi. Seperti dirinya karena setidaknya sebagai sesama anak bangsa, mengajar, ngopi dan ngudud bersama, nyangkruk bersama meski tidur tetap masing-masing.
Sahabat, kenapa kali ini Bagong bisa percaya diri? Ini sebenarnya membuktikan ketidakwarasannya. Benar apa dugaanmu. Ia merasa sebagai penggagas sekaligus pendiri padepokan Emprit Jingga yang mustahil diapa-apakan kecuali dialmarhumkan. Ia juga merasa telah bersusah payah mendirikan beberapa bilik kelas bersama warga. Ia juga merasa telah menanggung malu atas tanah yang tak diberikan secara percuma. Gara-gara utang tanah itu juga, yang telah menghancurkan martabat dirinya. Acap kali lewat di depan rumah pemberi utang, ia sembunyikan wajahnya. Andai bertatap muka, sangat mungkin ia langsung terkulai pingsan. Apalagi ketika sang penghibah tanah melihat tak ada satu bilik kelas pun yang berdiri.
“Jual lagi, Gong. Saya mau kasih ke yang lain saja.” Sementara Kahyangan City Peduli tak lebih sebagai sponsor utama dolar Singaparna. lih-alih membangun gubuk kecil, “Gong, sebaiknya cari lagi sewaan baru. Di emper atau pinggir sawah juga tak masalah, ‘kan?” batin Bagong mencelos. Ada yang lebih parah dari keteledoran Bagong. Bisa jadi ia memang tak peduli.
Bagong tidak sadar kalau kata sponsor utama itu betul-betul tak sekedar utama, bisa berubah menjadi sangat ekstra utama. Pada titik ini, Bagong tak lebih dari seorang bocah ingusan. Sssttt, dia lupa bagaimana banyaknya contoh, semisal kisah pilu Sang Proklamator. Iya, ‘kan?
Tapi ada berita lain yang bikin panas telinga. Saat Bagong ketemu demit seksi di malam jum’at wage, lagi-lagi ia buka rahasianya, “Sebenarnya saya mau melamar. Tapi bagaimana kalau ijazah pun masih ditahan kampus karena hutang tak lunas. Waktu Dewa Moyo menolak saya bekerja di Padepokan Pertamax berslogan ‘Ngutomo’, NgUnggul Tanpo Modal Biyoyo—maksudnya adalah muridnya tak usah bayar asalkan mau dijadikan robot. Sehingga kalau mau dijual kapan pun juga tak banyak protes karena saya cuma bawa kopian transkip nilai terakhir dan ijazah SMANSA favorit. Tapi beruntunglah, gara-gara ditolak itu, ndilalah malah bikin Emprit Jingga ini, Cah Ayu. Keren, gak?”
Ia menjawab itu pun sambil hidungnya dikembangkempiskan, ditambah bergaya anak kecil yang sedang ditawari permen lolipop. Blas, tak ada gaya keren-kerennya sama sekali. Norak. Kurang ajar betul, ‘kan, Sahabat? Itulah kenapa ia begitu cuek dan malah memikirkan bagaimana caranya berhubungan langsung dengan Dewa Ndaru. Langgarlah aturan!
Malam semakin larut. Sedari tadi Bagong menunggu seluruh keluarganya tidur. Ia buka pintu pelan-pelan. Sambil berjingkat, ia keluar dari gubuknya. Ia menerobos rindangnya pohon kirai dan semak di belakang gubuknya. Bagong terus menyusuri pematang sawah hingga menemukan batu hitam besar di tengah empang. Tanpa peduli bajunya basah, ia menyeberang ke tengah hingga menggapai tepian batu itu. Berbekal pensil dari tas anaknya, ia tuliskan, “Salam Kanjeng Dewa Ndaru. Kalau berkenan, saya mau melanjutkan sekolah rakyat Pertama Emprit Tertawa Riang. Salam, Bagong.”
Sepanjang jalan Bagong membatin, apakah Dewa Ndaru masih memperhatikannya ataukah tidak. Itu karena Bagong sejatinya tidak percaya diri. Makanya ia tulis setipis pensil di batu hitam besar. Tak ada yang bakal menyangka kalau di atas lempengan batu itu ada pesan Bagong.
Aksi Bagong kali ini mengingatkan warisan laku nenek moyang nusantaranya yang suka menaruh pesan-pesan moral di dinding-dinding candi. Generasi millenial atau strawberry jarang yang mengetahui bahwa asal kata candi itu sebenarnya adalah “Syandi”, yang telah diplesetkan oleh kaum penjajah agar tak lagi bermakna. Sahabat pasti tak asing lagi dengan kata sandi berikut maksudnya, bukan?
Belum lagi jauh berjalan, Bagong punya firasat kalau Dewa Ndaru langsung menjawab permohonannya. Meski tengah malam, ia tak ragu karena selama ini belum pernah sekali pun Dewa Ndaru mengabaikannya. Pengalaman yang ia dapat saat mau menikah tanpa persiapan waktu itu. “Kanjeng Dewa, hamba tahu Kanjeng pusing, tapi Hamba jauh lebih bingung.” Larut malam itu pula ia mendapatkan jawaban. Coba kalau yang lain, Sahabat tanya lewat SMS, didouble WA, plus instagram atau fb, mungkin seminggu baru dibalas. Itu pun masih untung, soalnya tak jarang orang enggan membalasnya. Lain soal jika urusan proyek. Hihihi…
Bagong balik badan, berlari dan langsung nyemplung ke empang bergaya salto. Benar dugaan Bagong.
“Silahkan kalau mau dilanjutkan. Tapi maaf, saya dan Kahyangan City Peduli tidak bisa bantu. Silakan Bagong bikin yayasan sendiri jika mau.”
Bagong pulang menari-nari, maju mundur maju mundur bergaya Bapak Semar, Petruk dan Gareng. Sesekali ia juga berhenti, tidur terlentang di pematang sawah, lantas mengejek, entah mengajak rembulan untuk tersenyum bersama. “Kau tahu sekarang apa yang kulakukan? Kau mau jadi saksinya jika anak-anakku nanti bertanya?”
Hingga subuh, Bagong yang tak kehabisan senyum mengembangnya baru sampai di gubuknya. Dasar sableng.
“Ayah, ke mana saja?” tanya sang istri.
“Ada sekelebatan sesuatu ke sana. Ayah penasaran, jadi kuikuti,” kata Bagong sekenanya sambil cengar-cengir.
“Sejak kapan Ayah jadi berani?”
“Sejak penasaran,” kata Bagong.
Istrinya mematung, matanya menelisik Bagong dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bagong menahan gemetar tubuhnya sekuat tenaga agar tetap santai. Tak bisa dibayangkan bagaimana Bagong mengerahkan energinya, berusaha untuk tetap tersenyum di bawah kaki dan gigi gemeletak karena cengkraman hawa dingin.
“Ayah jangan membohongiku.”
“Ih, sejak kapan ayah bohong?”
Padahal Bagong berbohong, ‘kan, Sahabat? Bagong memang kebangetan. Tak sekali itu saja ia berbohong kepada istrinya. Hanya kepada istrinya seorang.
Lagi-lagi ia hanya buka rahasia saat bertemu demit seksi, “Aku heran, Say, sudah tahu aku berbohong, tetap saja istriku percaya. Bahkan bertanya dengan suka hati, ‘kapan mau berbohong lagi?’ Sungguh, Say, berani kulakukan itu karena cinta kasih kami.”
Seketika demit seksi itu langsung kabur meninggalkan cuitan panjang melihat alasan Bagong yang irasional.
***
Seminggu sudah berita keputusan penutupan Sekolah Rakyat Pertama Emprit Tertawa Riang.
“Benar Kak Bagong gak mau melamar nih?”
“Semuanya sudah?” sahut Bagong.
“Ada juga yang belum,” kata Juminten.
Bagong mondar-mandir dalam ruang kantor kecil itu. Sesekali tangannya mengepal ke udara diselingi desisan, “yesss.”
“Bahagia sekali, Kak Gong?”
“Kayaknya saya tak akan menutup SMP ini.”
“Oh, ya?” sahut Petruk.
Kukasih tahu Engkau, Duhai Sahabat. Ketika Bagong punya krentek, ia tak mudah mengumbarnya. Ia punya kekuatan untuk menahannya di dalam hati. Barangkali itulah satu-satunya kelebihannya. Krentek-nya itu akan dikeluarkan sedikit, lantas ia duduk manis sambil mencari rembulan atau bintang Venus untuk diajak bercengkrama guna melupakan krentek-nya.
“Biarlah alam sekitar yang meresponnya”.
Kebiasaannya itu agak mirip dengan—jika Sahabat pernah baca buku Guru Para Pemimpi—kesukaan Gondrong yang secara hereditas diwarisi dari ibunya. Jadi tak usah mengkhayal kalau kau pernah bekerja sama untuk urusan apa pun merasa yang pertama karena terlalu banyak hal yang Bagong mampu rahasiakan. Dia lebih mirip seperti seorang penipu.
“Aku mau ikut Kak Bagong saja.”
“Aku juga…”
“Aku juga…”
“Ak…”
“Hai… hai… hai…” tahan Bagong sambil melambaikan kedua tangannya, “Kalian ini kenapa? Memangnya ada apa, _aya naon_?”
“Pokoknya ikut sama Kak Gong saja…”
Bagong menghela napas. Ia sadar kalau membikin sekolah baru amat sangat tidak mudah. Entah kenapa, tak seperti biasanya, kali ini ia juga sadar kenapa teman-temannya justru ingin ikut bersamanya.
Apa Sahabat mampu menerkanya? Sila kirim komentar di medsos, Bagong pasti setia menunggu. Tapi kalau tak ada respon, harap Sahabat memakluminya, ya. Hanya dengan mengingat kalau Bagong memang sableng, Sahabat tidak akan “gondok”.
Istri Bagong tampak gelisah, sementara anak-anaknya sudah terlelap. Hal yang mungkin bisa diungkapkan adalah sang istri mencium gelagat Bagong yang tak lagi aneh. Tahu, ‘kan, keanehan Bagong itulah kenormalannya? Bagong pura-pura tak tahu sang istri serius memperhatikannya, atau memang pikirannya hanya digelayuti penutupan padepokan SMP-nya. Huuuhh…
Kekuatan krentek Bagong rupanya tak berhenti sampai di sini. Apalagi sepanjang jalan, ke mana pun ia pergi, terlebih saat antar-jemput istrinya, terpampang banyak baliho yang berisi ujaran “persatuan dan kesatuan”.
“Ini harus didukung,” batin Bagong, “harus dimulai saat anak-anak bertumbuh kembang. Sekolah Rakyat Pertama Emprit Tertawa Riang tidak boleh ditutup. Masa keemasan terakhir yang masih memungkinkan sebelum semuanya terlambat.”
Konon balita adalah usia emas untuk memberikan dasar pengajaran karena seperti mengukir pada sebuah batu. Sstt, kalau sebaliknya? Sudahlah, temukan sendiri di tulisan Direktur Bekas, di sana bidadari pun akan melayanimu dengan suka hati. Jadi jika anak-anak punya dasar-dasar yang kokoh, tidak perlu khawatir dengan pola pengajaran di tingkat lanjutan atas, universitas, ataupun hidup bermasyarakat. Mereka bukan saja akan mampu mengatasi kesulitan, tapi bisa menikmatinya. Sejatinya kenikmatan karena kemudahan itu berada di dalam kesulitan, benar, ‘kan? Tetap saja Bagong keterlaluan dalam berkhayal. Gong, ingat, jangan panjang angan nanti bisa membawamu nyungsep keblinger dalam lumpur penyesalan!
Rintik hujan akhir Juli turun menyapa kehidupan di Emprit Jingga. Sapi melenguh, burung hantu berkicau. Di dekat lampu teplok, belalang sembah putar kepala. Katak pun bernyanyi mengiringi senyum Bagong dalam hati. Harum khas tanah kering terasa menyejukkan, mengingatkan puluhan tahun silam tanah asal yang tandus gersang. “Pasundan memang serpihan surga,” desah Bagong. Setelah capek bermain dengan si buah hati, sambil sambil minum kopi, Bagong menunggu anak dan istrinya tidur. Bagong tak ingin memperlihatkan rasa penasarannya di hadapan istri dan anak-anaknya.
Anak-anak Bagong sudah menguap-nguap, sementara istrinya juga kelelahan mengupas singkong dan mencari kayu bakar seharian. Malam kian merambat. Jika punya keinginan, rasa takut di malam sunyi mampu diatasi karena pikirannya fokus pada apa yang ia tuju. Berbeda halnya andai ia sengaja ingin menerobos gulita malam tanpa tujuan. Sahabat tak akan menemukan Bagong melakukannya. Kelebatan daun jatuh atau cericitan tikus bisa langsung membuatnya jatuh pingsan. Paling tidak, seluruh warga se-RT bangun karena teriakan histerisnya.
Bagong melongok ke pintu kamar. Melihat anak dan istrinya tak lagi bergerak, ia mengendap keluar dari gubuknya. Berbekal tembakau javara, ia bergegas menuju batu besar di tengah empang itu. Lagi-lagi ingin ia sampaikan pikiran sablengnya ke Dewa Ndaru yang nyaris mengulang kejadian kali pertama pendirian Sekolah Rakyat Pertama Emprit Tertawa Riang. Bagong memang tipikal makhluk ngotot.
“Pokoknya silakan kalau mau mendirikan yang baru. Tapi saya keberatan jikalau pakai nama yang sama. Kami tetap menutupnya. Keputusan hingga detik ini masih tak berubah.” begitu jawaban yang sudah tertulis di atas batu ketika Bagong baru saja meraih tepiannya. Untung tak tertulis kata bandel di sana.
“Bagaimana Dewa Ndaru tahu? Siapa yang membocorkan isi kepalaku?”
Meski dirundung penasaran, Bagong pulang dengan membawa sedikit harapan. Ia merayakannya sembari berjalan mundur dengan pantat yang tak berhenti bergoyang. Demit mana pula yang berani menggodanya. “Ogah, takut ikut edan.”
Tetapi bidadari dan bidadara justru datang, sebutlah begitu. Siapa yang menyangka, di awal Agustus, di hari Sabtu siang itu, mereka datang lagi setelah sekian lama.
“Anak-anakmu itu sangat bersemangat, ya. Main angklung dan tari samannya juga keren.” Begitulah kesan mereka kali pertama bertandang.
Sejoli ini berkawan sejak SMA hingga sekarang. Bercucu sudah, tapi semangatnya mengalahkan siapa saja. Kali ini mereka datang hanya untuk melihat sekaligus memastikan apakah pagar bambu kuning di Emprit Jingga telah tertanam.
“Selain indah, sumber mata air, penyerap polusi, meneduhkan, juga tolak bala,” kata sang bidadari, Maria Hatini.
“Sirik kau bawa-bawa,” timpal bidadara, Diwan Nusa, sambil tertawa.
Ditemani Wage—cantrik yang ikut mengasuh padepokan—saat kami duduk-duduk di pendopo, Mbok Maria berkata, “Bagaimana ceritanya sekolah rakyta perrrr…, ah susah, iya,iya, SMP saja deh, biar mudah menyebutnya. Iya, SMP-mu ditutup itu bagaimana ceritanya?”
Bagong menceritakan seperlunya. Ia juga katakan kalau tak ingin menutupnya. “Saya akan mencobanya setahun. Kalau ternyata susah, lantas bubar, apa boleh buat. Setidaknya sudah mencoba.”
Bagong nyaris identik dengan pelanggar aturan. Ia pernah bilang saat diwawancara warta Republika, “Kalau disuruh bikin sekolah lagi, mending pergi ke Mogadishu, Kang.” Itu saat padepokan Emprit Jingga masa paceklik dan ia pontang-panting seorang diri. Tolol memang, itulah Bagong. Sungguh tolol.
“Kalau berniat seperti itu,” kata Mbok Maria, “kamu pastikan ke Kahyangan City Peduli.”
“Tentang?”
“Satu, apakah teman-temanmu boleh bantu. Dua, apakah boleh pakai fasilitas. Tiga, masih bolehkah pakai nama Emprit Tertawa Riang.”
“Usul yang sangat bagus, Mak. Senin besok juga akan saya kirim lewat Kang Wage, oke, Kang?” sahut Diwan.
“Pokoknya saya dukung seribu persen, Kang Gong, tak perlu khawatir,” kata Wage, “aku gak rela kalau SMP ditutup.”
“Apalagi padepokan lain, satu murid mahal,” kata Bagong.
“Maksudnya?” Maria bingung.
“Aduh Mbok… Mbok… kalau Mbok Maria bisa memberikan santri ke padepokan sana itu, bisa makan bakso gratis.” Wage menjelaskan. “Berebut murid ceritanya…”
“Sekarang ini: banyak santri, banyak uang. Tidak seperti dulu, dulu hanya modal ikhlas mengabdi. Terus, kira-kira sekolah seperti apa model begitu? Bagaimana kualitas lulusannya? Sekolah itu hanya transfer ilmu, atau perlu cinta kasih? Yakin nilai-nilai karakter bisa diterapkan?”
Bagong menghela napas panjang. Kekesalannya menyemburat dalam keasaman bibirnya. Ketiga orang yang berada di depannya adalah aktifis polusi udara. Bagong tak berkutik, kecuali ingin menyuruh mereka segera pulang. Tapi kedua orang ini sangat disayanginya yang membuatnya rela menelan kemasaman bibirnya.
“Itulah kenapa SMP ini tak boleh dibubarkan. Betul, ‘kan, Kang Wage?”
“Betul, Mbok. Selebaran promosi dari sekolah lain itu sampai Bagong laminating pakai kapur barus biar awet tak dimakan rayap. Coba, apa maksud Bagong itu, gendheng, ‘kan?” kata Wage.
Mbok Maria dan Kang Diwan manggut-manggut.
“Pemerintah menyubsidi dana besar, tapi bagaimana pengawasannya? Rupanya banyak tikus berkeliaran tanpa rasa takut, ya. Sependapat denganmu, Gong.”
Sore itu adalah sehari menjelang akhir pekan. Sebagian cantrik tak kelihatan batang hidungnya. “Gareng sedang ambil ijazah, Kak Gong.” Wage menjelaskan.
“Semuanya sudah melamar?” Bagong bertanya.
“Sudah. Gareng besok. Tumini dan Tuminah tak mau.”
“Kenapa?”
“Mereka _keukeuh_ ingin ikut Kak Bagong.”
“Ten,” kata Bagong pada Juminten, “katakan lagi ke Tumini dan Tuminah, disuruh Kak Bagong segera melamar. Jangan ikut saya, kecuali siap-siap susah. Kalau dulu, sejak awal ada yang siap mendanai. Kalau SMP baru, nanti tidak jelas. Modalnya cuma nekat.”
Bukan tanpa alasan Bagong menyuruh temannya melamar kerja. Bagi yang sudah berumur, dengan tanggungan anak yang minta susu sapi, kedelai, bank susu, mainan, dan tirai nyamuk, cari kerja “setali tiga uang” dengan pembuat lapangan kerja. Bagong tak mungkin mengorbankan orang-orang yang telah “digeretnya” guna membantu Emprit Jingga. Sementara ia punya kekuatan keyakinan, kekebalan hukum sebagai pendiri dan penggagas Emprit Jingga yang tertuang dalam lembar hati masyarakat, “Aku tak seperti kalian, ingat. Tak seperti kalian.”
Aneh, pikir Bagong, ada apakah gerangan sehingga lamar-melamar ini diwajibkan. Hal yang mungkin adalah karena lapangan pekerjaan tak gampang, sementara tongkat kendali kalau bisa semakin tergenggam erat. Bagi sebuah institusi, kendali sangat dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai yang diinginkan. Di masa awal pendirian Emprit Jingga, sebenarnya Bagong punya beberapa pilihan menyangkut sumber pendanaan. Tetapi ia setia dengan Kahyangan City Peduli karena tak ada tuntutan apa pun selain berbagi ilmu bagi warga dusun. Benar-benar tanpa syarat. Sementara yang lain minta beragam mahar. “Harus berganti baju putih, ya. Mampukah kau jamin adik-adikmu akan jadi orang jujur. Tiap Jum’at malam, wajib diselenggarakan doa.” Syarat-syarat yang bahkan Bagong sendiri mustahil mampu melakukan. Persetan.
Dasar otak dengkul. Bagong lepaskan semua kejadian yang lalu, dan hanya bersiap mengirimkan tiga usulan ke Kahyangan City Peduli. Langkah yang justru akan membawa sebuah petaka di kemudian hari.
Nah, Sahabat tercinta, kalau Engkau ingin tahu kisah selanjutnya, sebaiknya berdoa saja. Itu karena aku belum tentu mampu meneruskan kisahnya?
—Babakan, Ciseeng, 15 Oktober 2017
Hadi Surya