Duhai Sahabat, sejatinya aku agak berat melanjutkan kisah petaka mimpi Bagong ini. Bahkan jika tak ada aral, kuputuskan berhenti menulis. Entahlah, barangkali karena aku lumayan sibuk, ya. Itu sih tadinya, alasan bagi orang-orang malas sepertiku yang tak melakukan sesuatu kecuali mencari-cari alasan untuk tak melakukan sesuatu. Keren, ‘kan? Beruntung aku ikut kelas menulisnya Ren Muhammad.
“Kita bisa menulis bahkan sambil ngobrol sekali pun,” kata Ren.
Jauh sebelumnya, Pram juga mengatakan, “Tulislah walau tak ada yang mau membaca karyamu. Siapa tahu suatu saat berguna.”
Begitulah kira-kira sedikit semangatku muncul mengatasi kemalasanku. Alasan berikutnya, ah, sudahlah, sebaiknya tak kukatakan. Jelas ada sedikit sangkut pautnya dengan kehidupan. Tapi jangan Sobat kaitkan dengan hidupku, ya. Nah, bukankah Engkau sudah tak sabar menanti kisah selanjutnya meski terpaksa harus menelan keamburadulan tatanan bahasa dan kengawuranku? Sssttt, juga kebohonganku. Baiklah kalau kau telah memaklumiku terlebih dulu.
Langit di padepokan Emprit Jingga mulai gelap menjelang asar. Dari arah timur, gemuruh hujan kian mendekat. Dibantu ketiga buah hatinya, Bagong menghambur ke belakang gubuk menyapu bersih jemurannya. Sesaat kemudian, hujan badai mulai menghantam padepokan Emprit Jingga dan sekitarnya. Gubuk Bagong pun bergoyang-goyang seperti pelepah kelapa.
“Di sini saja, Sayang, jangan ke mana-mana, ya,” pesan Bagong kepada anak-anaknya.
Bagong bangkit menuju pintu. Hembusan angin menerbangkan butir-butir hujan, tempias membasahi wajahnya. Ia melangkah beberapa jengkal ke depan, berdiri kokoh persis di bawah ujung atap rumbia. Bagong menghadap sang badai. Berbekal ilmu dari Dewa Ndaru, Bagong mulai komat-kamit.
“Wahai sang badai, sayangku. Aku tahu kau sedang mengamuk. Kau akan sapu segalanya. Aku, keluargaku, dan masyarakat ini, takkan mungkin mampu menghindar dari terjanganmu. Tapi aku ingin tahu, sebelum segalanya luluh lantak, sudahkah kau minta ijin pada Gusti Kang Akarya jagat? Kalau memang sudah, apa boleh buat. Aku pun sendiko dawuh.”
Sayup-sayup terdengar suara azan dari dalam gubuknya yang kian mendekat. Bagong menoleh, dan anak pertamanya kian lantang bersuara. Bagong bersimpuh di belakangnya. La ila ha ill Allah…
Badai mereda selepas isya. Bagong berucap syukur karena tak ada kerusakan yang berarti.
“Tak ada sesuatupun yang sia-sia. Begitupun kala sang badai melanda,” batin Bagong.
Hawa nan sejuk yang tersisa membuat seluruh keluarga Bagong terlelap pulas. Sementara Bagong mulai gelisah. Ia ambil bekas minyak goreng, lalu menuangkannya ke dalam cawan keramik. Sejumput kapuk yang ia ambil di samping gubuknya dipilin menjadi sumbu. Sendiri, berteman tembako rajava asli bumi Nusantara, Bagong duduk tepekur di tikar pandan. Ia mengingat-ingat pesan Dewa Moyo.
Bagong mulai mengenal Dewa Moyo sedari pelaksanaan program pemberantasan buta ilmu di daerah Emprit Jingga. Konon, dipandu sang begawan Dewa Ndaru, Kahyangan City Peduli terbentuk. Karena sering ngangsu kawruh ke Dewa Ndaru, sekitar empat tahun, Bagong merasa punya ikatan batin dengannya.
Satu hal yang selalu Bagong ingat dari Dewa Ndaru, yang juga ditekankan ke santri-santrinya, “Mumpung masih belajar, kalian jangan takut mencoba, meski salah. Sambil jalan nanti bisa dibenahi pelan-pelan. Sebab, jika nanti kalian sudah hidup di masyarakat akan lebih sulit.” Karena itu, tak susah usaha Bagong mendirikan padepokan Emprit Jingga untuk mendapat dukungan Kahyangan City Peduli. Mulai dari taman bacaan, taman bermain, hingga sekolah rakyat menengah atas.
Dewa Moyo, adalah ajudan khusus Dewa Ndaru. Kedekatannya dengan Bagong bisa dibilang bukan tidak dekat. Suluh di depan Bagong mulai meredup. Ia kembali menambahkan minyak sayur. Bayangan tubuhnya di dinding nyaris tak bergerak. Ia nyalakan rokoknya bertabur kunang-kunang. Betapa indah.
***
Keras terngiang soal penutupan sekolah rakyat menengah pertama Emprit Tertawa Riang. Kala itu, sebelum mohon pamit, Dewa Moyo menegaskan pembubarannya. Dengan lantang Dewa Moyo katakan, “Tahun depan, kita tak lagi menerima santri baru untuk yang menengah pertama. Selanjutnya, demi pemenuhan tenaga kerja murah, eh… maaf, salah, ralat… Demi menyiapkan kader bangsa yang mumpuni, tak selalu bergantung pihak lain. Mampu berdikari, supaya ke depan juga bisa membangun sendiri kampung ini. Atas nama pimpinan tertinggi, Dewa Ndaru, kami nyatakan dalam tempo yang sekilat-kilatnya bahwa sekolah menengah kedua Emprit Tertawa Riang pun kami tutup.”
“Ha… ha… ha… ha… ha… ha… ha..
ha…” Seluruh ruangan menyuarakan notasi ha bertangga nada minor.
Dewa Moyo manggut-manggut.
“Kenapa ditutup, Kanjeng, nasib kami kumaha deui?”
“Tak usah khawatir. Tak mungkinlah kami tak memperhatikan kalian semua. Sejak dulu kami sudah berpikir dan berusaha keras agar salary kalian di atas… Ya, setidaknya sedikit dekat dengan UMR. Kami selalu pikirkan jalan keluarnya. Wong yang tak ada hubungan garis struktural saja kami bantu, apalagi kalian… Makanya, berdoalah. Juga jangan pernah absen pengajian. Sebulan sekali apa susahnya. Betul, ‘kan, Bagong?”
Bagong tersenyum dalam kegetiran. Tak ada yang tak tahu, tak sekalipun ia datang ke pengajian di Kahyangan City Peduli, kecuali sekali semasa bujangan. Dua jam angkot, delapan jam numpang sapi. Bagong lebih suka bersama sapi karena bisa pulang dengan selamat tanpa nyasar meski ketiduran. Ke mana pun sapi dibawa, seterjal dan seliku apapun jalannya, ia tetap bisa pulang meniti kembali jalur saat berangkat tanpa dituntun sekalipun. Itulah jaminan kepastian Bagong yang ia dapat sedari kecil tentang keistimewaan sapi.
Siapa saja juga tahu, tak sekalipun Bagong tak mendapatkan warta merpati pos undangan pengajian. Lagi-lagi ia absen. Apalagi setelah menikah dan berbuntut tiga, Bagong terlalu sibuk dengan dirinya. Tak ada suguhan di atas meja, Bagong hanya lirik kanan lirik kiri. “Kanjeng Dewa puasa mutih,” terdengar bisikan. Padahal sebagian teman Bagong selalu menanti saat-saat pertemuan karena ada prasmanan jajan pasar. Kali ini terpaksa gigit bibir. Mau gimana lagi.
“Kalau semuanya ditutup, Kanjeng…” kata kang Udin tak selesai. Hatinya mencelos karena calon mertuanya sudah mengejar-ngejar kapan anak gadisnya ia lamar. Bahkan mungkin diancam kalau sampai Muharam tak kunjung nembung, kumbang yang lain sudah siap menyambung.
“Sekolah rakyat menengah pertama kita tutup, okey?” tegas Dewa Moyo, “sekolah rakyat menengah kedua, kita ganti dengan sekolah rakyat menengah keahlian khusus.”
“O …”
“Keahlian khusus bagaimana, Kanjeng?”
“Masak, cocok tanam, nge-net, joget, rancang bangun, dan kalau dibutuhkan ilmu pijat dan pelet juga akan kami siapkan mentornya. Pokoknya gak usah khawatir. Dijamin cespleng. Kami sudah melakukan kajian mendalam apa yang tepat untuk siswa di sini. Jadi kalian juga harus siap jika nanti mesti pegang garpu dan pacul,” kata Dewa Moyo.
“Agar program ini sukses, ijazah tak lagi negeri, tapi akan kita keluarkan sendiri. Dewa Toyo nanti yang akan bantu urus.”
Semua menghela nafas. Tertunduk. Bagong manthuk-manthuk, bibir kecut karena tak ngudud, dibalut wajah menyemburat tegang.
“Kok UUP?”
“Apa itu, Kak Gong?”
“Sstt… Ujung-ujungnya Perut.”
“Satu lagi,” tegas Dewa Moyo, “untuk memastikan semua program dan rencana baru ini berjalan lancar, kalian semua kembali diminta untuk melamar sebagai karyawan Kahyangan City Peduli. Paling lambat akhir bulan.”
“Memang dulu pernah, lamar-melamar, ya,” bisik Bagong pada Juminten.
Setelah mengembara empat tahun di negeri seberang, Bagong tak tahu banyak soal perkembangan padepokan. Dulu yang ia tahu hanyalah dukungan dolar Singaparna Kahyangan City Peduli. Tak lebih. Bahkan bagaimana padepokan itu dikelola berikut sistem pembelajaran dan kurikulumnya, sepenuhnya diserahkan kepadanya. Tak aneh jika empat tahun silam, spanduk-spanduk acara tak sekalipun memuat simbol Kahyangan City Peduli. Inilah kekurangajaran Bagong yang tak disadarinya, sekaligus akumulasi masalah di kemudian hari.
Di tengah penjelasan Dewa Moyo itu, bibir Bagong tertutup rapat karena gincu bulat mulutnya terlalu tebal. Ia bertanya-tanya, coba memahami bagaimana ceritanya andai sekolah menengah pertama Emprit Tertawa Riang yang menjadi asal muasal itu benar-benar dimusnahkan? Untuk melupakan Taman Bermain Balita yang ia dirikan namun sudah berganti nama saja, masih terlalu susah. Ia tidak tahu kapan penggatian nama itu terjadi. Bahkan ia sering dengar, lagu mars gubahannya pun berganti lirik. Entah masih dinyanyikan atau kah tidak lagi sekarang.
Bagong salah besar kenapa taman itu dilepas. Saat ada wartawati jadul, sambil cengengas-cengenges ia bertanya, “Menurut Mbak, saya mesti gimana?”
Dasar sableng. Itulah kenapa dia bingung masalah tentang apalagi yang mau dituturkan? Bagaimana mengurai alur cerita andai kelak anak cucu pun bertanya-tanya? Tapi itulah kehidupan, Gong Bagong.
Hanya manusia-manusia yang ingin menkanjir melanda. Hanya manusia-manusia yang ingin mengerti kenapa gunung meletus, dan hanya manusia-manusia yang tiada henti mencari yang akan mengerti.
Bagong ingin mencari tahu. Namun ia tak ingin memberitahu keluarganya, istrinya. Hanya gara-gara sudah banyak sekolah sederajat, dan tak lagi ditemukan anak-anak yang jualan kantong plastik di pasarpun nyari cacing di empang kecuali juga berangkat sekolah. Ditambah tak ada warga yang tak makan hingga tiga empat hari. Itu artinya sekolah rakyat menengah pertama Emprit Tertawa Riang sudah tak lagi pentina karenanya wajib ditutup. Lantas bagaimana andai ada masyarakat yang ingin belajar di Emprit Tertawa Riang hanya karena alasan kampungan, “kecap saja beragam merek, Kak Gong?”
Kenapa pertanyaan itu harus ujungnya Kak Gong?
Suluh di hadapan Bagong meredup, meredup, dan akhirnya padam. Satu yang tersisa dalam kepekatan malam itu, akankah Bagong bisa menolak andai ada anak yang ingin belajar bersamanya?
Hadi Surya, 7 Oktober 2017