Guru Yang Hidup
Sore itu, Mas Radhar yang baru sembuh dari masa kritisnya, terkulai lemas di kasur lipatnya. Tubuh rapuhnya, terlihat semakin ringkih. Wajar saja, beliau sudah puluhan tahun rutin cuci darah.
Menurut salah seorang senior kami, sejak pertemuan pertama mereka tahun 98, Mas radhar sudah cuci darah.
Hari itu, anak anak asuh Mas Radhar kumpul jadi satu. Teater Kosong rencananya akan menggelar pertunjukan lagi. Barangkali ini akan jadi karya monumental Mas Radhar.
Dikisahkan, Mas Radhar itu sakit seperti apa pun, kalau sudah naik panggung membaca puisi sakitnya hilang seketika. Beliau secara tiba tiba menunjukan kondisi paling prima.
Hari itu, saya beruntung karena menyaksikan Mas Radhar bangkit dari posisi tidurnya, duduk tegap, menasihati kami, melecut semangat, menggugah kesadaran.
Itu lah Maha Karya beliau yang saya saksikan sendiri. Seorang pesakitan, membakar semangat lebih dari 20 pasang mata. Mas Radhar telah berpulang, memungkasi panggung raya kehidupannya. Dirinya, adalah puisi itu sendiri, karya monumental.
Belum ada orang mati sebelumnya yang begitu hidup di hati saya, baru Mas Radhar saja.
Terimakasih Radhar Panca Dahana
Luqman Al Hakim
Pengajar di Atmanagari