
Siswa Atmanagari saat mandiri ke Kota Tua ditemani Rafi Fuji Berkah, backpacker yang menginspirasi mereka (foto diambil oleh Rafi Fuji Berkah)
Abad Keemasan
Kita pernah melewati beberapa zaman dengan ilmu pengetahuan sebagai pilarnya. Sebut saja era yunani kuno dengan Socrates, Aristoteles, dan Plato sebagai punggawa. Lalu Zaman abad keemasan Islam yang melahirkan banyak ilmuan kampiun, temuannya bahkan menjadi landasan ilmu pengetahuan modern hari ini. Peradaban Islam di Andalusia runtuh bersamaan dengan dinasti Abbasiyah. Eropa kemudian keluar dari abad kegelapan meneruskan estafet ilmu pemgetahuan menuju abad pencerahan. Ilmuan eropa yang lahir di kemudian hari juga memungkasi ilmu pengetahuan sebagai pilar peradaban bersamaan dengan ditemukannya mesin uap yang mengawali era industri.
Sangat kontras dengan zaman kita. Ilmu pengetahuan seolah berkembang tapi bermuara pada keuntungan belaka. Perhargaan tinggi pada ilmu menjadi bias, gelar sarjana malah lebih penting dari ilmu itu sendiri. Manusia tak lagi mengagungkan keindahan pikiran, malah kita terpana pada material yang dilebeli harga, bukan nilai manfaat. Jika ada ilmuan yang penemuannya berpotensi mencerahkan peradaban, ia malah dikebiri atas nama kapitalisme.
Kebuntuan ini bukan tanpa sebab. Sudah sejak awal kita melalui jalan yang salah. Jalan pendidikan di sekolah hanya bermuara pada lulusan siap kerja, tenaga ahli, itu saja. Jika sejak awal cara belajar kita berada di jalan yang benar, muaranya akan adalah telaga tak bertepi ilmu pengetahuan. Siapa yang sampai di sana niscaya menyatu, menjadi telaga itu sendiri. Maka dimana ia berada, orang-orang yang dahaga akan mengambil air darinya. Harus sudah jelas di kepala kita, ilmu pengetahuan bukan hanya hiasan hidup. Ilmu seperti air yang menyegarkan. Barang siapa hidup tapi tidak berilmu, ia ibarat musafir nyaris mati kehausan.
Sebagai pembanding, di zaman keemasan islam, seorang ilmuan di bidang fisika, juga ahli matematika, juga ahli pada dunia kedokteran, filsafat, astronomi, kimia, sastra, teolog, fiqih sekaligus. Para ilmuan ini bukan sekedar ahli saja, tapi master di tiap bidang. Beberapa orang berspekulasi, mereka bisa sehebat itu karena mempelajari Al-Quran. Pertanyaannya, di zaman kita bukan kah banyak juga orang-orang yang mempelajari Al-Quran? Jika mereka bisa, kenapa kita tidak?
Cara belajar mereka tidak sama dengan kita. Mereka belajar dari satu guru ahli ke guru ahli lainnya. Dari bidang ilmu yang satu ke bidang ilmu lain. Mereka mempelajari dan memahami landasan dasarnya, lalu mengembangkannya sendiri, berdiskusi, berdebat, menggugat pikirannya sendiri, terus hingga mendapat pencerahan. Tidak ada tingkatan kelas, penggolongan dan batasan usia, target capaian nilai, apa lagi daftar absensi. Orientasi utama mereka adalah temuan baru bukan “bisa” menguasai soal ujian. Sejak dini mereka mengetahui, dan mencintai ilmu pengetahuan. Bukan dipaksa belajar.
Lantas bagaimana caranya Al Khawarizmi, ibnu Qurra, Al Battani, ibn Al Farabbi, ibn Al Haitham, ibn Sina, ibn Rusyd, ibn Khaldun, Nikola Tesla, Albert Einstein, dan kawan kawan ilmuan lain mampu menemukan, merumuskan, serta menyimpulkan perkara baru yang belum pernah dibedah oleh orang-orang sebelumnya?
Luqman Al Hakim
Pengajar di Sekolah Atmanagari