Pendidikan Sejati #2

Fabi, Siswa kelas 9 Atmanagari menjadi peserta lomba menggambar di sekolah (Foto diambil oleh Rama Pati)

 

Kecerdasan Bawaan

 

Beberapa waktu lalu saya terlibat obrolan ringan dengan seorang sahabat. Kawan saya menceritakan kekagumannya pada anak dari sahabat kami yang lain. Katanya, ia takjub melihat anak tersebut memulai pelajaran berjalannya sendirian, tanpa ada yang mengajari.

 

Pernyataannya ini segera saya sanggah. Semua anak manusia mandiri ketika belajar berjalan, begitu kata saya. Lantas ia bertanya, bukan kah kebanyakan anak anak diajari orangtuanya, seperti dituntun misalnya? Saya meluruskan, menuntun anak belajar berjalan adalah proses menemani anak belajar. Orangtua sahabat kami menemani dengan memberi kepercayaan lebih banyak. Yang lain memberi penjagaan lebih banyak. Ketika sang anak memutuskan untuk berdiri pertama kali, itu ia putuskan  sendiri. Atau sistem kecerdasan bawaan yang menuntun sang anak.

 

Anak-anak manusia pada mulanya memutuskan apa yang akan ia pelajari berdasar keputusannya sendiri. Tidak seperti sekolah yang memberi pakem. Sedari berojol ia sudah belajar mengenali alam barunya. Kemudian ia tengkurap, duduk, merangkak, berjalan, bicara, hingga ia banyak bertanya, semua karena sistem kecerdasan manusia yang diantaranya diprogram untuk belajar.

Lantas perangkat apa yang kemudian menuntun mereka belajar? Para sufi, bijak bestari, masyarakat rahasia seperti freemassonry, atau penghayat kepercayaan di negri kita meyakini; Tuhan lah yang mengajari langsung anak-anak manusia.

Sementara manusia modern menyimpulkan jika anak manusia bisa mandiri belajar berkat intuisinya. Intuisi adalah sistem berpikir manusia yang menangkap data abstrak dari keentahan, yang diproses bisa menjadi letupan pikiran, ide, kemauan, pertanyaan, jawaban, pencerapan, pemaknaan, vision, hingga pencerahan.

 

Penelitian neurosains telah menunjukkan bahwa intuisi bukanlah sekadar “perasaan”, tetapi didasarkan pada pemrosesan informasi yang kompleks di otak. Misalnya, dalam buku “Blink” karya Malcolm Gladwell, ia menggambarkan bagaimana intuisi seringkali dapat memberikan hasil yang sama atau bahkan lebih baik daripada analisis yang panjang dalam situasi tertentu. (Tempo.co)

 

Lantas dimana peran nalar dan logika? Jika nalar adalah proses melebarkan pikiran, logika justru sebaliknya, membatasi pikiran hingga mengerucut.  Ketiganya menjadi penting dalam proses berpikir. Oleh sebab itu mengajari anak banyak hal, memberinya batasan batasan nilai seperti norma, hukum, baik-buruk, benar-salah, adalah proses yang sama pentingnya dalam pembelajaran anak. Disisi lain membiarkan anak belajar ‘sendiri’, adalah salah satu cara menajamkan intuisinya.

 

Kecelakaan zaman kita adalah, manusia modern dewasa justru menyampingkan peran intuisi. Saya yakin banyak pembaca juga menganggap intusi sebagai barang usang, kuno, sepele, tidak awam, atau mungkin tidak penting? Tenang saja, ini memang bukan murni kesalahan kita.

 

Menelisik sistem pendidikan formal, memang unsur-unsur pembelajaran yang mendukung tumbuh kembang intusi nyaris tiada. Atau lebih terlihat seperti ditiadakan. Sistem pendidikan sekolah hanya menitik beratkan nalar dan logika saja. Baru Finlandia yang lantang menyatakan telah menghapus  mata pelajaran dari sekolah – Salah satu cara untuk mengembangkan intuisi.

Indonesia yang baru menggunakan kurikulum merdeka terbilang masih malu-malu. Mengapa? Biarlah saya jabarkan lagi dengan seksama di seri seri berikutnya.

 

Bersambung…

 

Luqman al Hakim, Pengajar di Sekolah Atmanagari