Palang Pintu

Teringat tak membukakan pintu bagi tamunya hingga tertidur di teras rumah sampai subuh, sudah membuat Bagong merasa kualat. Ia tak ingin kekualatannya itu terulang. Itulah mengapa, sebelum rasa kantuknya menyergap, ia buru-buru memberitahu sahabatnya kalau pintu tak dikunci. “Tak usah sungkan,” pesan singkatnya.

Bagong tak berani bertaruh dengan kekuatan fisiknya. Ia sadar, makin tua makin rapuh. Jika ia pernah tak tidur berbulan-bulan kecuali berjam-jam saja, itu lantaran ia terserang masalah. Mungkin Engkau juga heran, Sahabat, bagaimana masalah bisa berubah menjadi hantu insomnia tanpa kafein. Jangan-jangan minum kopi malah menjadi penawarnya. Tapi sebaiknya tak usah dicoba. Kalau pun mau, segera beritahukan padaku sambil ngopi bareng di depan teras tembok baruku.

Kamis pagi ini, 28 September 2017, Bagong mendapatkan tugas meliput siswa-siswi SMP Alternatif Cerdik Cendekia yang akan belajar di rumah salah satu siswanya. Engkau bisa menyebutnya Siang Kemisan. Ini sebuah kejutan karena kali pertama Bagong mendapatkan amanah meliput kegiatan anak-anak SMP.

Biasanya Bagong meliput acara-acara mantenan tetangga dengan suguhan musik dangdut yang selalu meriah. Maklum, wilayah di sudut Ciseeng ini, organ tunggal atau layar tancap sedang marak-maraknya. Sebelum reformasi, tiang layar tancap bisa rubuh tiba-tiba karena bandot yang dipasang golok marah.

Agar tak mengecewakan, karena Bagong biasanya tampil banyak ngomong, maka sejak seminggu lalu ia sibuk berlatih mental, teknik liputan anak, menyelami psikologi anak, juga menjaga fisik. Semangatnya itu terpantik karena sesumbar, “Malu jika kalah dengan anak-anak.”

Sesumbar yang bisa jadi senjata makan tuan. Sahabat bisa membayangkan, kan, bagaimana kerasnya latihan atlet saat di TC (Training Cente? Begitulah. Jika ada yang bertanya siapa yang menyarankan semua itu, ia hanya terkekeh. Masalahnya adalah sudah dua hari tiga malam tamunya tak tidur.

“Gimana mau tidur, tak ada suguhan kecuali kopi,” kata temannya.

Bagong terkekeh sambil bilang kalau ia memang baru dapat paket dari Palembang, Kopi Semendo.

Pagi ini, ternyata tamunya ingin ngikut.

“Kau tidur saja,” kata Bagong.

“Saya wajib ikut, Pak Gong.”

“Eh, siapa yang mewajibkan kamu?”

“Dosa kalau tak ikut.”

“Lebih dosa kalau kamu menyiksa diri. Sudah, tidurlah.”

“Ini bukan soal lebih atau kurang dosa, Pak Gong, pokoknya ikut. Nanti ada yang marah.”

Merasa wajib menghormati tamunya, Bagong tak bisa menolak. Tapi ia bingung karena keledainya cuma satu. Takut dosa dan kualat lagi, Bagong pun terpaksa jalan kaki sambil menuntun keledainya. Tamunya riep-riep bahagia di atas keledai karena hembusan angin. Sementara untuk mau bilang “dasar tamu sialan” pun tak bisa, dalam hati Bagong takut kualat lagi.

Akhirnya Bagong memilih nggending bersama keledainya. Mereka berdua meringkik kegirangan. Semakin berat ketika gendingnya selesai, kaki belakang keledai itu menyepak-nyepak, tanda minta Bagong nggending lagi. Bagong tak berani berhenti karena mengormati tamu hukumnya wajib. Sepanjang jalan Bagong menyimpan dendam kesumat kalau sepulang liputan nanti ia akan menghabiskan waktunya di perpustakaan kampung. Ia tak akan keluar kecuali menemukan dalil tak usahlah pedulikan tamumu.

“Om Bagong, tumben pakai dasi, celana licin, mau kemana,” sapa seorang penggemarnya yang tiba-tiba muncul dari balik semak. “Mana gincu bulat mulutmu itu?”

“Gincu bikin banyak ngomong. Sekarang aku puasa ngomong, soalnya mau liputan.”

“O… Kemana saja ku-WA tak masuk-masuk?”

“Kata tamuku jangan terlalu bergantung pada gadget, bisa berabe. Berbahaya buat otak, tubuh, juga sosial.”

Penggemarnya hanya bisa menatap nyaris tak percaya. Karena selama ini, ia WA sekalimat saja, balasan Bagong bisa selayar penuh.

“Kita cerewet di medsos, tapi kalau dikasih buku, baca selembar seperti disuruh bersihkan eek bayi.”

Penggemarnya mematung. Tamunya ambruk di punggung keledai. Mendengkur keras.

“Kelihatannya keledaimu muat dua orang, kenapa kau tak naik juga, lumayan, ‘kan?”

Tanpa aba-aba, Bagong merangkak naik. Jatuh. Naik. Jatuh. Akhirnya ia tersenyum setelah dibantu penggemarnya.

Begitu sampai di jalanan menurun, keledai Bagong ambruk. Sang Tamu masih tertidur pulas. Jarak tempat liputan tinggal 100 meter lagi. Di ujung rumah berlantai dan bergenting tanah, anak-anak berteriak-teriak. “Om Bagong…Om Bagong… Om Gong…gong…”

“Dasar tamu sia,” kata Bagong dalam hati sambil menggendong tamunya, takut kualat.

Sesampainya di tempat tujuan, anak-anak berebut cium tangan tamunya yang baru buka mata.
“Pak Matari…Pak Matari… Apa kabar?”

Bagong kena injak dan tendang, bahkan pantat pun mendarat di mukanya yang sedang menunduk karena rebutan itu. “Anak sekolah gak tahu sopan santun. Pantas saja, temanku cerita kalau bekas murid-muridnya menyapa pun tidak ketika berpapasan di jalan. Kasihan para guru, ya. Buat apa gaji gede makan hati. Mending kecil suka hati.”

Bagong pun menyingkir. Ia memilih selfie dengan sang nenek.

“Ayahnya Riski kerja ke Tangerang. Subuh berangkat, gelap tiba. Kalau tak begitu… Nyari uang kan susah, Pak?”

Bagong menahan hawa nafsunya supaya tidak ngomong. Sekali ngomong bisa lupa dengan tugas mulianya, meliput. Hanya meliput.

“Bapak kenal ‘kan dengan Ucen, sopir pick up lele jumbo itu? Dia adik saya. Kami ber… Tak ada yang tamat SD. Arulin bae atuh sakolahna. Sakola ge te pake naon-naon. Paling sendal jepit hungkul. Mugi anak-anak engke pada palalinter, nyak, Pak.”

Bagong mengusap wajahnya, mengusir rasa kantuk yang menyerang, sementara di ruang tamu berjubel. Pak Matari yang masih berat untuk membuka mata, mendikte dan menjelaskan bagaimana di empang-empang sana banyak ditemukan batu belah sebesar bayi kerbau. Bagaimana proses dahsyatnya letusan gunung Papandayan, angrango, Gede hingga Krakatau itu terjadi. Bagaimana orang-orang sunda awal–wiwitan–malah bersahabat dengan keganasan alamnya.

“Kaubilang ganas, kubilang indah,” kata Pak Matari.

“Itulah indahnya keganasan,” sahut Bagong seraya berdiri di depan sang nenek yang hanya tersenyum. Bagong lantas mohon pamit, “ke depan sebentar, Nek.”

Sambil jalan, Bagong mengamati sekeliling. Tampaknya ia kenal dengan wilayah itu, tapi entah kapan. Bagong mengikuti ke mana kaki melangkah. Jantungnya makin berdegub kencang. Semakin diabaikan, semakin kaki bergetar.

“Halo kak Ba…go…ng, apa kabar, lama tak jumpa?”

Bagong ingin berlari tapi sendalnya terjebak di tanah berlumpur. Itu karena orang yang ada di depannya adalah  mentoha sahabatnya yang dulu ia lamarkan gadisnya hanya gara-gara terpaksa mewakili ayahnya yang sakit mencret mendadak. Tanpa Bagong, kembang kamboja kuning langsat menawan hati akan sulit dielus apalagi diendus malam itu.

Masalahnya setahun terakhir ini, ia bertengkar hebat dengan sahabatnya itu hanya gara-gara apakah aula bisa dijadikan kelas ataukah tidak. Juga sebaliknya. Kelas kosong mirip aula. Aula penuh kursi bangku mirip kelas. Bagong keras kepala, sahabatnya keras hatinya. Keduanya bebal dan mungkin juga neraka nolak, surga pun tidak. Beruntung ia ingat tamunya semalam, “hujanilah lawanmu dengan senyuman.”
Bagong meringkik seperti keledai yang disambut. Sang Mentoha senyum lebar, durian terbelah, kripik pisang, juga senyum istri dan anak temannya. Mereka duduk di atas tikar sembari ngebul.

“Semua tanah yang Pak Bagong lihat itu. Semuanya sudah dikuasai perusahaan.”

“Kenapa begitu, Pak?”

“Nyalon RT saja mesti kampanye, kan?”

Bagong berusaha merenungi ucapan itu. Tanam modal, kapan kembali. Kembali modal, tanam lagi. Tetangga, saudara, rakyat, masa depan, masa lalu, bodoh amat.

“Begitu dikasih celah,” wajah sang bapak tampak memelas, “semuanya hanyut. Apalah artinya uang bagi cukong-cukong itu.”

Bagong terbatuk karena salah hisap. Ujung bara rokok menyundut bibirnya. Salah sendiri, ia suka putar-putar batang rokok di sela jemarinya.

“Entah berapa hektar itu tanah milik…kabarnya pernah jadi tangan kirinya menteri Tungky. Tapi sekarang sudah dijual ke… Itu…tu…***grup yang kemarin kena masalah.”

“Yang invest tak kembali?”

Bapak mengangguk. “Hampir semuanya ikut. Jika mereka-mereka datang, pameran mobil mewah berderet sampai pinggir kali. Sebagian perangkat kena bujuk rayu. Ya, hampir semua. Memangnya siapa yang tak tergiur, ongkang-ongkang kaki terima duit. Tapi gombal semua…gombal…”

“Dari mana Bapak tahu?”

“Bapak ikut.”

Bagong mengalunkan rayuan pulau kelapa nun jauh di dalam hatinya. Ia tak berani membawakan lagu Bento karena pujaan hatinya itu belakangan tampil bersahaja diliputi lirik-lirik cinta kasih.

“Kami di sini, terutama rumah Yayan–adiknya fikri yang sekolah jauh-jauh ke Babakan Sabrang sana–adalah palang pintu terakhir. Jika suatu saat tergiur dengan dolar, tak tahulah kami. Sawah dan empang di bawah sana pasti akan tersapu bersih.”

Bagong mulai teringat David T Hill, Indonesianis dan Guru Besar Studi Asia Tenggara Universitas Murdoch-Australia mengatakan, “Indonesia merupakan negara penuh misteri. Kebudayaannya berbeda dalam aspek apa pun. Lingkungannya pun begitu. Orang Indonesia sangat baik, bersedia membantu–meski tuk menghancurkan bangsa sendiri, tidak angkuh dan tak sombong.”

“Keukeuh di sini, berarti perlawanan?”

Bapak mengangguk pelan.

“Harga diri?”

“Demi leluhur.”

“Macam Diponegoro?”

“Hmmm…”

“Sampai kapan Bapak dan palang pintu terakhir, Yayan, akan bertahan?”

Kesenyapan akhirnya jatuh di antara kami. Lima ekor tupai bekejaran di dahan durian seolah ingin menghibur kepiluan hati. Bapak kembali menuangkan teh tawar yang mengasamkan mulut Bagong lagi.

Bagong meraba-raba bungkus rokoknya. Menggeronjal pun tidak. Ia raih, diremas-remas, lantas dilempar sejauh mungkin. Padahal tempat sampah tepat di bawah hidungnya. Bagong sok marah hingga hilang akal sehat. Sementara siswa-siswi dan tamunya, ditambah Bu Guru yang digelayuti tiga anak, berteriak-teriak kapan liputannya.

Di tengah gerutuannya, tiba-tiba ponsel Bagong bergetar. Ia mendapatkan pesan singkat. Bagong bergegas pamit dan memburu Pak Matari yang masih dikerubuti murid-muridnya.

Begitu berhadapan dengan Pak Matari, Bagong terlihat panik, “Pak, pinjam sebentar keris bambu warisan itu.”

“Mau kemana?”

“Pulang.”

“Pak Gong… Omm Gong… Pak De Gong… Kita sudah mau pulang… Kapan liputannya?!” Teriakan tak karuan dari para murid, Bu Guru, juga nenek.

“Ada apa, Pak Gong?” Tanya Pak Matari.

Bagong melempar ponselnya, lari sipat kuping sambil teriak, “Mana keledaiku…mana keledaiku?! Kedelaiiiiii…tungguuuu…!!!”

Disaksikan Nenek dan murid-murid, Pak Matari buru-buru membuka WA Bagong. Di dalamnya ada pesan, “Apa kbr Om Bagong? Kapan tampil stand up Memedi lagi? Oh iya, Kita mo minta ijin lanjutin bangun pagar melintang di muka rumah, ya. Tak usah kuatir, jalan tikus dijamin ada. Janji.”

 

29 September 2017

Hadi Surya