Sulit diduga, itulah kesanku terhadap Bagong. Telah lama kiranya aku mengikuti Bagong, tanpa ia sadari. Namun tetap saja, karena kelemahanku atau ketololan Bagong, aku selalu dibuat tak berdaya. Barangkali Engkau, duhai Sahabat, bisa percaya apa yang terjadi sehari lalu. Berharap pengunjung situs cerdikcendekia.id berkenan memaklumiku karena keterbatasan ini.
Sepulang salat Jum’at, kurebahkan diri sambil mengingat apa yang Bagong lakukan kemarin. Sebenarnya aku sudah mulai curiga ketika ia mematung di depan pintu. Sangat mungkin ia mendapatkan semacam firasat, andai bisa kukatakan begitu. Tapi banyak sekali kemungkinan yang bisa ditebak dari seseorang yang sudah pensiun itu. Tepatnya, dipensiunkan dini karena sebelumnya ia masih mengajar dengan jam terbang terbanyak. Kukira ia seorang yang rakus mengajar. Ia dilarang aktif lagi tanpa pesangon, pun harga diri. Jika itu terjadi padaku, ah, sudahlah. Kalau Engkau, Sahabat?
Tapi aku masih saja kecolongan ketika ia buka kartu pada Genderuwo di belakang rumahnya. Berdua di bawah pohon kamboja kuning ia curhat, “Andai aku ketemu orang yang telah memutuskan takdirku hingga seperti ini, sungguh, aku akan berucap terima kasih dengan memberikannya sebatang pohon cendana umur dua tahun.” Berita basi yang baru kudapat sehingga membuatku kesal. Sangat kesal, kenapa sampai bisa tak mengetahuinya.
Kemungkinan yang bisa kutebak saat Bagong mematung adalah ia akan memulai usaha dengan menggadaikan empang belakang gubuknya untuk modal usaha. Ia bisa kembali buka warung pempeknya atau jualan kopi batik kesukaannya. Tapi ia sama sekali tak berbakat jualan. Ini membuat sang istri tak henti mengomel karena kantongnya terus terkuras. Kemungkinan kedua, ia bakal mengajukan banding atas putusan yang menurutnya tak adil. Tapi dapat biaya dari mana untuk mengawal kasusnya. Ketiga, ia beserta keluarganya mengadu nasib ke seberang, ikut program transmigrasi yang mulai lagi digalakkan. Soalnya sebelum dipensiunkan dini itu, ia sempat mengutarakan keinginannya di depan sahabat karibnya, Abu Bakar. “Kenapa tak kita buktikan kalau bumi itu bulat, luas, datar dan menggeronjal?”
Selepas magrib, Bagong tampak berselonjor kaki, dan menggerak-gerakkan ujungnya. Sebuah penanda kalau ia sedang memikirkan sesuatu. Apalagi ia memisahkan diri dalam kamar dari istri dan anak-anaknya. Sebuah pesan kalau Bagong tak bisa diganggu. Tak seperti biasanya, malam itu ia tidur cepat seolah berharap pagi segera menjelang. Ponsel jadul juga ia matikan.
Pagi-pagi sekali Bagong sudah bangun, lalu membangunkan istrinya untuk salat subuh.
“Berjamaah?” kata istrinya, yang disahut Bagong dengan senyum kecilnya, “semalam sudah, ‘kan?”
Bagong mengantar sang istri bekerja di saat ketiga buah hatinya masih pulas bermimpi. Begitu pulang dan sampai gubuknya lagi, ketiga anaknya sudah berlarian di halaman.
Sahabat, terus terang aku masih tak tahu apa rencana Bagong kali ini. Ia berkata ke temannya kalau ia tak bisa menemani mengajar.
“Kak Gong kan sudah tahu kalau saya sembuh kamis nanti. Tenang saja, nanti Bu Fariang Gembira juga datang,” balas temannya.
Berarti Bagong akan menuntaskan pekerjaan di gubuknya yang sudah dua hari tak disentuh. Lihat, rendaman baju, piring gelas berserak. Tapi kenapa tak jua disentuhnya?
Bagong justru sibuk menyiapkan baju seragam sekolah kedua anaknya, dan baju main putra bungsunya. “Ayo… ayo… buruan mandi, Sayang!”
Bagong mengirim pesan singkat, “Bu Ning, nanti belajar di tempat Imam, ya, jangan lupa. Kalau masih sempat, rujakan di tempat Nico juga bagus. Adik-adik banyak yang punya buah sendiri. Oh ya, Abik suruh ikut ya, soalnya aku mau titip si bungsu, Hucen.”
“Beres, Kak Bagong. Tak usah kuatir. Kalau nanti minta jajan, gak apa-apa ya, hutang dulu. Oh ya, memangnya Kak Gong mau ke mana?”
“Nanti saja ceritanya. Sebentar kok, tak sampai zuhur.”
Sahabat, aku masih tidak tahu apa rencana Bagong kali ini karena seharusnya ia dan teman-temannya mengajar adik-adik Cerdik Cendekia alias CC yang tak dibayar itu. “Biar tidak nglangut, Om,” katanya singkat saat ditanya kenapa aktif di CC.
Begitu ketiga anaknya hilang dari pandangan, Bagong malah membuat kopi batik lukis dua gelas besar. Duhai Sahabat, aku menyerah, bisakah kau menerka ke mana ia mau pergi?
***
Selesai berkemas, di sela bibir kanan terselip sebatang rokok, ia sambar sepeda onta bututnya di samping rumah, dan melaju dengan kencang.
“Hoi… Kak Goooong… rek kamanaaaa?” teriak Kang Tukul karena kaget ayamnya berhamburan begitu sepeda Bagong melintas. Bagong tak bergeming. Berkilo-kilometer ia sudah berjalan. Bukannya semakin pelan karena capek, ia malah semaking ngebut seolah sedang mengejar maling. Sementara itu sundal bolong yang ditakutinya duduk manis di boncengan. Sepeda, nafas, dan peluhnya saling memburu.
“Sudah mulai?”
“Belum.”
Oh… oh… ohh… Ini rupanya. Aku baru sadar ke mana ia terburu seperti itu.
Aula yang baru jadi itu sudah mulai bocor karena tak ada perhatian. Kebanyakan orang, termasuk aku, lebih suka kalau tinggal pakai tanpa perlu bersusah payah mencari. Namun biasanya apa yang didapat dengan mudah, mudah juga untuk melupakannya dan tidak mau merawatnya. Lain soal jika Sahabat menemukan sesuatu dengan susah payah dan berdarah-darah. Jika sudah begitu, kebanyakan orang, barangkali juga Bagong, akan sulit melupakannya. Tak tahu kalau melepaskannya, rasa-rasanya sulit juga, kecuali seperti seorang nenek yang suka sekali dengan anak kecil atau cucunya, lantas menyuruh menjauhkan semua itu saat ajalnya akan menjelang. Kalau begitu, cari saja pacar yang sulit didapat, benar, ‘kan?
Kamis, 12 September 2017, Bagong bernostalgia dengan bekas sekolah lamanya yang ia gagas dan dirikan bersama teman-temannya. Agar mendapatkan kesempatan bernostalgia itu, ia pun mengorbankan Bu Ning dan Fariang agar menemani adik-adik CC belajar di rumah Imam.
“Nanti ceritakan, ya,” pinta Bagong tak tahu diri.
“Emoh.”
“Jangan mudah ngambek, lekas peyot.”
“Bodo amat.”
Acara belum dimulai. Sedikit anak yang menyapanya. Selebihnya pasti karena tak kenal, sungkan, takut bersentuhan dengan orang asing, dan yang paling jelas karena Bagong belum diperkenalkan atau tak ingin dikenalkan kawan-kawannya.
“Adik-adik semua, mari kita berdiri, kita sambut pendiri sekolah ini… Tanpa dia, kita semua tidak bakal berada di tempat mulia ini… Dia telah rela datang jauh-jauh hanya dengan sepeda onthelnya meski tak kita undang. Kita sambut yang mulia… Kak… Pak… sekaligus Mbah… Baaaaag… Goooooong…”
Riuh rendah gemuruh tepuk tangan itu tak terdengar, bahkan oleh semut sekalipun. Kenyataannya Bagong yang merasa asing hanya menelisik kelas dan mendapati begitu banyak meja yang terlepas pasaknya. Menyalami lemparan salam dan senyum muridnya yang masih mengenalnya, lantas menciumi pilar-pilar aula sembari berbisik, “Aku masih ingat bau khasmu terakhir kita bertemu, apa Kau masih mengenalku?”
“Kak Bagooooong, apa kabar,” sapa Komet Heli sambil memeluknya erat, “Kakak sehat?”
Ya, hanya Heli seorang.
“Kapan kita nonton video salawatan KKN lagi?”
Di mata Komet Heli, Bagong adalah mahasiswa yang pernah PKL sebulan di kampungnya. Banyak mengadakan acara bakti sosial, juga pertunjukan seni dan teater bagi masyarakat, terutama untuk adik-adik seusia Komet Heli. Kala itu, Heli masih SMP, anak yang rajin mengaji.
Tepat pukul 09.07 , acara pun dimulai. Sahabat, acara ini dibuka dengan lagu dari kelas 12. Tampaknya berkaitan erat dengan siapa Bagong itu.
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Apa aku seorang guru, ya… masih juga guru, kaliankah?
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Lah, apa bedanya aku dan namaku? Aku di sini, masih bernafas, duduk paling depan celana jins hitam, kaos kresno hitam, mana sapaanmu? Oh… aku hanya bekas temen mereka, barangkali ya…
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku.
Sekedar kalian ukir, benarkah? Mana rasa terima kasih untuk baktiku dulu?
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Hai, siapakah orang yang duduk di depan itu dengan dua gelas besar kopi, kenalkah kalian? Dulu ia sering di kelas bersamamu, hai…
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Oh, rupanya sangkamu, ia pembawa kegelapan, ya? Benar, kalian semua patut melupakannya. Bahkan harus. Tidakkah itu jua pesan guru kalian sekarang, bukan?
Sahabat, kulihat Bagong benar-benar mematung dengan dua gelas besar kopi di kanan dan kirinya. Gegap gempita kemeriahan pertunjukkan yang adalah tradisi yang ditinggalkannya, terasa sepi mencekam.
“Terima kasih, Mbah Bagong yang masih berkenan menemani kami hingga mau akhir acara…”
Masih ada sapaan yang begitu hangat. Bagong seperti berjalan di padang sahara dan menemukan setetes embun dalam kehausan yang mencekiknya. Spontan Bagong berdiri, bergoyang-goyang berputar. Hanya karena masih diingat.
“Mbah, kenal tidak sama guru kita yang jelita itu? Belum tiga bulan, Mbah, masih gresss kenyes-kenyes.”
Goyangan Bagong makin keras. Matanya melotot nakal. Suitannya muncrat. Bergantilah tarian tayub Blora.
“Mbah!!!”
Berganti putaran tarian sufi Sang Rumi yang mabuk kepayang.
Murid-murid Bagong mendekat sambil membawa satu sound, lantas berteriak, “Mbah!”
Bagong berhenti mendadak seperti laju mobil berhenti karena tiba-tiba ada kucing melintas. Bagong tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk punggung murid-muridnya.
“Mbah kenal tidak dengan dua bidadari surga itu?”
Tanpa senyum Bagong berkata kepada murid-muridnya, “Kenapa mereka di sini?”
“Kenalin dulu, Kek, ini bu…”
“Hai, siapa namamu?” potong Bagong lantang.
“Tumini Sari Sriti, Mbah,” jawabnya tersenyum.
“Kalau kamu?
“Anggun Tuminah,” ia juga tersenyum.
Bagong bergoyang lagi bersama murid-murid yang masih mau mengenalnya.
“Siapa yang suruh mereka di sini?”
“Kok, Kakek bertanya macam-macam gitu… Maliiiikkk ambilkan kopi pahit,” teriak Mail mulai curiga.
“Karena uang dia datang ke sini, Kek, katanya…”
“Tanya lagi, sebelumnya menganggur atau sudah kerja.”
“Tidak menganggur juga belum kerja. Nyari-nyari, Kek,” sahut Fikri.
“Coba tanya, siapa dan bagaimana sekolah kalian ini didirikan.”
“Baik, Kek, baik… ngopi dulu… ngopi dulu, Kek.”
“Siiiiiiaaaaappaaaa?”
Malik hilang, lantas muncul dengan selembar kertas.
“Tak tahu, katanya. Tapi mereka janji akan berziarah bersama muridnya tiap Jum’at pagi sebelum belajar andai masih tak tah kecuali nisannya, Kek.”
“Begitu kok mengajar, tahu diri juga enggak. bagaimana mau mengajar kalian? Memangnya mengajar gampang?” gumam Bagong tersenyum lebar. “Tapi usul ziarah itu juga jangan kalian hilangkan, ya, bahkan sebelum almarhum pun juga bagus.” Bagong manggut-manggut menggigit bibirnya.
Seorang muridnya mendekat lantas berbisik di telinga Bagong, “Katanya juga demi uang, Kek… buat modal tambahan kawin Muharram tahun depan.”
“Hemmm, Kakek suka orang yang berterus terang begini. Bisa dimengerti… bisa dimengerti,” kata Bagong terkekeh-kekeh diikuti murid-muridnya. “Kalian nanti tak usah takut kalau mau menikah, ya. Jangan pacaran saja digedein. Dan kalau bisa, jangan Muharam, itu bulan prihatin, bulan refleksi.”
Murid-murid malah bersahutan bersuit-suit karena hanya mengingat gedein pacaran.
“Mana guru kalian yang lain? Apa Kang Heli Komet ini sudah diangkat jadi guru?”
Komet Heli malah nyengir, langsung mohon pamit, mundur pelan-pelan, sambar sapu lidi dan karung sampah.
Srekkk… sreeekkk… srreeekkkk…
“Ada yang main poker, nge-net, sakit bisul, ngobrol tender pribadi, juga ada yang ngumpet di WC, Kek… Tapi memang kami mengadakan acara ini karena suguhan spesial menyambut kedatanganmu, Ka… kek… Sa… yang… itu pesan guru kami yang juga mempersiapkan pentas ini sejak setengah minggu lalu… Maka dari itu kami pun pentaskan teater demi Kakek. Katanya juga, kami harus belajar mandiri. Bukankah itu warisan Kakek? Itulah kenapa guru yang lain lebih suka gaib, Kek.”
“Bisa dipahami,” tegas suara Bagong nge-bass dengan mata memicing.
“Ada pajangan peraturan guru?”
“Dulu ada, Kek, tapi sobek terkena tanduk kambing yang lagi berebut kawin. Kalau murid, itu baliho hitam di depan WC.”
Gemuruh keriangan mulai terlindas tatapan tajam Bagong.
“Kakek kasih tahu, kalau gurumu tidak tahu, biarlah, tapi kamu harus tahu.”
Mereka, bekas muridnya, teman muridnya, teman bekas muridnya, bekas teman muridnya, merubung Bagong seperti laron.
“Jangan sembarangan menyanyikan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu. Sebelum kalian membawakan lagu itu, kenali, hayati, renungkan, gali apa makna dan maksudnya supaya tak hanya sebatas nyanyian saja. Guru itu siapa. Apa hak dan kewajiban kalian terhadap guru. Supaya kalian tahu adab, sopan santun, supaya tidak kualat. Jangan seperti kakekmu ini, paham?”
Aku masih bertanya-tanya, apa maksud Bagong sebenarnya. Apakah ia merasa bahwa murid-murid yang dulu di kelasnya tak menunjukkan sikap seperti apa yang ia harapkan? Entahlah.
“Papaapaaa… ham, Kek…”
“Paham, tidak?”
“Pahammm Kakekku Sayang.”
Merasa tradisi warisannya masih terjaga, Bagong langsung menyambar sepeda onta onthelnya, memburu buah hatinya yang pulang sekolah.
“Dahhh… sampai jumpa, ya…”
Babakan, Ciseeng, Bogor, 14 Oktober 2017
Hadi Surya