Tak seperti biasanya, kali ini Bagong tidur lebih cepat. Mantan murid-murid gilanya sudah diberikan wasiat, “Lain kali kalau main jangan di hari kerja, ya.” Entah _jampi_ apa yang dilontarkan Bagong, murid-muridnya tak ada yang membantah. Padahal Bagong hanya sendau gurau, tapi berkat pelatihan teater yang ia curi-curi dari muridnya yang sedang berlatih sendirian, ia biasa bermain muka bersandiwara.
Karena tidur cepat, ia pun bisa mengantar belahan jiwanya saat mentari masih memerah. Ia cepat sampai rumah, karena akhir-akhir ini punya kebiasaan ngebut di jalan. Tampaknya ia sudah lupa dengan wasiat para leluhurnya: _alon-alon waton kelakon_. Begitu ia sampai di pintu rumah, didapatinya sepatu-sepatu terjajar di teras.
“Tugas sains, kak Bagong…”, murid-murid menjelaskan
Bagong melenguh, tak yakin karena murid-muridnya _pencet_ tombol power saja masih tak tahu letaknya. “Terlalu berlebihan,” batin Bagong mengusir kecemasannya. Bagong memang suka membiarkan muridnya belajar. “Tak ada istilah salah, yang ada hanyalah belum tahu”. Itulah prinsip yang selalu ia tekankan pada setiap muridnya.
“Bagaimana ini,” pikir Bagong keras karena di tempat yang digunakan untuk belajar tanpa ijin itu akan diadakan perhelatan akbar. Menunggu situasi memungkinkan untuk, hanya akan mendatangkan masalah. “Son, bilang ke teman-temanmu itu, kita akan belajar di belakang”, perintah bagong.
Tak lama, Bagong keluar rumah diikuti para muridnya yang mengekor seperti ular.
“Bagaimana kalau kita nyanyi lagu naik-naik ke puncak gunung?”
“Kita main gobak sodor saja Pak Gong”, para murid pun sontak menjawab.
Takut kecemplung empang, usul itu pun tinggal sebuah usul, tak pernah terlontar apalagi mengisahkan basah kuyub muridnya. Ia berjalan melamun, entah membayangkan apa. Barangkali teringat kisah dua kuntilanak di bawah pohon randu samping rumahnya.
Segelas air putih segera dihidangkan, dan kopi pahit pengusir penat pun muncul kemudian. Panas-panas ia hirup secangkir kopi, sementara anak didiknya sudah selesai membereskan ruangan. Doa pagi terulang karena masih ada beberapa hati yang belum siap. Rifki membawakan mukadimah dengan bahasa Indonesia.
Entah karena terserang apa, Bagong lupa kalau hidup di Pasundan akan lebih terhayati jika berbahasa Sunda. Sudah ada tanda-tanda kalau Bagong mulai pikun. Selesai berdoa, Bagong mengingatkan kalau ibu guru sedang cuti haid.
“Mana mungkin, Pak Gong” protes muridnya.
“Kalau gak percaya silakan cari tahu sendiri” Bagong tak ingin memberikan petunjuk lebih jauh, membiarkan kepala murid-muridnya dipenuhi tanda tanya. Terlebih ia sadar kalau dirinya pun diselimuti lupa dan kesalahan. Kali ini Bagong coba mengajar bahasa Inggris pada murid-muridnya yang sudah membentuk formasi lingkaran.
“I will go, my friend” sambil memandang para murid.
Muridnya pun sontak menjawab, “Saya akan pergi, Pak Gong”.
Siapa pula yang suruh menerjemahkan, batin Bagong. Lagi pula, kenapa ada kata Pak Gong?
“I will go to Parung, my friend”, telunjuk Bagong langsung mengarah ke salah satu murid.
Muridnya pun sontak menjawab, “Saya akan pergi ke Parung, Pak Gong…”
Batin Bagong pun masih bingung kenapa namanya selalu dibawa-bawa. Telunjuk Bagong pun terus berpindah dan kalimatnya pun semakin panjang mengular seperti saat ia berangkat tadi. Tak terasa, kalimat itu membentuk sebuah cerita nyaris satu paragraf. Sayangnya, kalimat itu terputus kata _kejeglong_. Karena tak ada istilah salah, semua murid termotivasi untuk menemukan maknanya. Tas-tas mulai mengeluarkan isinya dan kamus-kamus pun mulai terkoyak, dibolak-balik, diinjak, digigit. Ada murid yang mengalungkannya di leher, siap dikorbankan.
Kejeglong binti Paijo. Melihat kelas mulai kacau, Bagong pun sayub-sayub mendengar dan teringat PR bu Imas, tujuh kambing sembilan korban. Semalaman ia memikirkannya, tapi tak jua berhasil. Seperti muridnya, ia pun larut dalam pikirannya sampai-sampai jeritan seorang ibu dari arah pintu tak terdengar.
“Pak Gooooong, itu kan jatah saya, nanti saya mau ngajar apa coba?”
Bagong menoleh, meringis dan tanpa merasa malu ataupun bersalah mempersilakan.
“Maaf-maaf, semalam sudah itung-itungan tujuh kambing gimana caranya bisa dikorbankan menjadi sembilan ekor. Saya sudah kenyang matematika semalaman. Tadi ingin menghibur diri saja.”
Bagong bingung, dan bu guru terdiam sejenak.
“Oh, gitu, lain kali kalau murid-muridku yang jadi korban, awas ya… kalau sekolah sana, silakan”, mata bu guru terbelalak, membangunkan Bagong dari mimpi di kelas menulisnya.
Senin, 4 September 2017
Hadi Surya