Makananku, Oh, Makananku

Kelas bahasa Inggris telah usai. Bagong merasa bersalah telah mengambil jam pelajaran Bu Guru. Tapi bukan Bagong namanya, bila kelakuannya itu tak mengesalkan. Ia hanya melempar senyum pada Bu Guru yang pasang wajah mengeras.

“Maaf ya, Bu,” gerutunya dalam hati. Bagong kembali melanjutkan seruputan kopi yang membuat lidahnya terasa nyeri karena melepuh. Ia duduk bersimpuh di samping pintu sambil sesekali menjawab sapaan orang yang lewat.

“Halo, Kak Gong,” kata seorang muridnya yang sedang memikul ember berisi ikan.

Meski murid-murid Bagong telah lulus dari padepokannya, ia tak menganggap mereka sebagai bekas murid. Sekali murid, tetaplah murid. Begitu kira-kira. Karena itu, sulit menemukan orang yang pernah berada di kelas Bagong merasa sungkan dengannya, apalagi hanya sekedar menyapa. Bagong menawari kopi dan rokoknya. Muridnya merasa malu, mungkin, dan dengan halus menolak.

“Sudah ditunggu bapak, Kak,” jawabnya sembari pamit.

Lamunan Bagong membawanya ke masa silam, sekitar 15 tahun lalu. Di bale rombeng milik pak Kiai, Bagong menghabiskan waktu bersama anak-anak seperti muridnya tadi. Bagong tak pernah merasa sedang mengajar, tapi suka bertanya pada mereka. Hal yang paling bisa diingatnya adalah belajar bahasa Sunda. Maklum, Bagong bukan asli Sunda.

Kala itu, anak-anak tersebut adalah murid Bagong. Saling bertanya, bisa membuat pembahasan ke mana-mana. Tak jarang, Bagong juga minta diinjak-injak punggungnya karena lelah. Pijitan kaki itu bisa membuatnya kembali bugar.

“Hebat sekali dia,” batin Bagong. Ia merasa gembira melihat muridnya itu tanpa merasa malu bekerja layaknya orang kampung. Tahu sendiri, berbekal ijazah Esemkadan-A, kebanyakan tak mau lagi pegang arit dan cangkul. Menjadi tenaga kerja murah dengan risiko tinggi, tetap menjadi pilihan alternatif dari cita-cita yang kandas.

“Tak sia-sia belasan tahun bersamaku, Sahabat, semoga kau menemukan dan menjadi dirimu sendiri,” kata Bagong lirih mengikuti punggung muridnya yang mulai menghilang.

“Kenapa, Pak Gong?” sapa Bu Guru membuyarkan lamunannya, “sudah selesai?”

Bagong hanya terdiam.

“Adik-adik sedang mengerjakan tugas mandiri,” lanjut Bu Guru, “kau kelihatan gundah, kenapa?”

“Kapan aku gundah? Hanya kelihatannya saja, ‘kan?”

Kali ini Bagong tak mau bercerita.

“Sesama teman, masa gak mau berbagi, Pak Gong?” desak Bu Guru.

Bagong kembali menyeruput kopinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia menjelaskan, “Saya kok merasa, meski adik-adik begitu lincah dan ceria, tapi kenapa terasa berat diajak berpikir?”

“Oh, itu rupanya masalahmu,” jawab Bu Guru, “dua bulan juga belum, tak boleh pesimis gitu dong.”

Bagong kembali membakar rokoknya.

“Bu tuan rumah, tahu ‘kan kalau sekolah Bagong tak punya kelas? Eh, bukan, bahkan banyak kelas. Rumah-rumah warga, lapangan, empang dan sesekali di vila orang. Pokoknya kelas yang tak berkelas. _Beah,_” Bagong menjelaskan, bersamaan dengan asap yang rokok melayang di udara.

“Setidaknya, kutemukan bibit palawija unggul. Hasil persilangan petani pasundan dengan petani papua. Akan tahan hama, sekaligus sedap dimakan,” lanjut Bagong.

“Butuh kesabaran, Pak Gong.”

“Tap…”

“Sudahlah, kita jalani saja. Semua anak itu hebat. Semua anak itu berbakat. Semua anak itu brilian. Kita hanya perlu menemukan bakatnya, lalu memotivasi dan membimbingnya.”

“Justru karena itulah, aku merasa susah,” sahut Bagong.

“Tugas kita cuma membimbing, Pak Gong, tak lebih. Allah telah mencipta manusia dengan sebaik-baik…”

“Dan memberikan kesempatan merusak pada kita, serusak-rusaknya,” timpal Bagong, sebelum Bu Guru mampu menyelesaikan kalimatnga.

Kali ini Bagong melotot, tapi Bu Guru membalasnya dengan senyuman. Sebagai murid otodidak di kelas teater, kali ini Bagong gagal. Tak cuma wajah, nafsu Bagong merajai sekujur tubuhnya. Seketika suasana hening. Kegaduhan dari dalam kelas–rumah warga–tak mampu mengusik suasana hati mereka berdua. Bagong kembali meraih kopinya yang mulai dingin. Nafasnya melambat, menjadi pelan.

“Saya belum tahu maksudmu,” kata Bu Guru memecah kesunyian.

Bagong bergeming seperti patung ditunggu koruptor yang berniat gantung diri.

“Jangan-jangan faktor makanan,” desah Bagong nyaris tak terdengar, “Apa yang bisa kita perbuat…”

“Maksudnya?”

“Ingat masa kecil?”

Bu Guru mengangguk.

“Meski jajanan kita hanya kolak singkong dan ubi, tapi aman. Lihatlah itu, betapa jajanan adik-adik kita sekarang sangat semarak, berwarna-warni seperti pelangi. Meski murah meriah mengundang selera, tapi banyak mengandung zat berbahaya. Tak hanya di sekolah, tapi di dalam dapur kita juga. Tak hanya sekarang, bahkan sejak sebelum dilahirkan. Tubuh teracuni, gampang jatuh sakit, otak jadi beb…”

“Aku ada saran,” tukas Bu Guru.

“Apa?”

“Bagaimana kalau sekarang kau berhenti mengajar, lalu belajar agama hingga lulus. Menjadi ketua majelis tertinggi. Tak usah penghalalan deh, pengharaman cukup. Nah, kau tinggal keluarkan fatwa haram. Beres, ‘kan?”

Usul Bu Guru terdengar masuk akal, tapi kenapa ia terkikik? Bagong melengos, batinnya mencelos.

“Apakah ini juga bentuk penjajahan? Atau, supaya kita gampang dijajah karena malas berpikir? Tengok saja, bukankah kalau ada masalah, kita mesti… ‘hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan’? Harus musyawarah, ‘kan? Musyawarah. _Voting_ itu kan artinya sudah malas _mikir_, cari gampangnya saja.”

“Ya tak sesederhana begitu, Pak Gong.”

“Apalagi?”

“Pak Gong saja Pancasila gak hapal, main comot saja gitu”

Bagong ngakak bukan karena malu, tapi entah karena apa. Ia membayangkan, barang kali “wakilnya” di sana juga masih ada yang tak hapal. Apalagi jika dituntut untuk memaknai dan melaksanakannya, tak mudah tentu saja.

“Jangan berhenti berharap,” kata Bu Guru.

“Lah, siapa pula yang berharap. Naif. Makan itu halalan thayiban. Bukan halal wa thayib. Halal sekaligus baik, sehat bergizi. Bukan _wal wal gedual dudu watu dudu bantal, angger kontal yo kalal…_”

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…, Al Baqarah 168.”

“Eit… Sejak kapan Bu Guru?”

“Sejak gak asal _jeplak_!”

“Itulah maksudku, Bu Guru. Masalah ini terlalu rumit di pikiranku. Padahal mereka diserahkan orang tuanya supaya… Ah, sudahlah.”

Sambil berusaha memahami keadaan, wajah melankolis Bagong mengiringi desahannya, “Tentu tak sembarangan jika kita disuruh makan yang halal lagi bermutu. Itu artinya…”

“Bok, Bok! Sudah selesai, saatnya presentasi!” Teriak anak-anak dari dalam kelas yang dipakai seminggu sekali itu.

 

Rabu, 6 September 2017

Hadi Surya