Sejak sahabatku cuti melahirkan, mau tak mau aku harus bersiap lebih pagi. Tak mungkin rasanya membiarkan adik-adik berdatangan dan tak melihat guru-gurunya. Ingat kala kecil, ‘kan? Kau akan merasa bahagia ketika matamu terbuka dan kau dapati ibu atau ayahmu di sisimu. Tak ada yang lebih menentramkan hati kecuali orang yang dikenal selalu menjaga.
Beruntung, aku sempat membaca kisah Bung Andy Noya, yang begitu ia membuka mata, tak didapatinya sang ibu. Perasaan dendam sulit dihapuskan. Aku berusaha sebisaku agar adik-adik tak mengalami perasaan yang sama. Mereka tahu bahwa segala yang berada di tempat mereka belajar, tak akan berarti apa-apa tanpa kehadiran guru-guru.
Mereka akan segera tertekan hanya gara-gara, “aula ini dipakai kelas…” Adik-adik akan segera ngacir, mencari-cari guru yang bisa mereka pegangi. Bagong menyaksikan semua itu dari bilik hatinya, karena matanya sudah rabun dimakan ujian. Bagaimana tidak, begitu melihat soal matematika, Bagong langsung melotot, jarak matanya ke kertas tak lebih dari duapuluh senti. Semakin susah menjawabnya, mata Bagong akan semakin mendekat, hingga tak jarang ia tersungkur di atas kertas. Tinta tulisannya melebar karena tumpahan iler.
Hanya merasa sebagai penumpang ilegal, Bagong enggan lagi beradu lidah dengan bekas bawahannya. Keren juga, sejak kapan Bagong punya bawahan? Rasanya ia hanya tukang sapu yang membersihkan seluruh halaman di saat siswa-siswi cendcen–anak para juragan lele jumbo–ujian semester? Kamu pasti ngigau, kan Gong?
Kebiasaan menjadi tukang sapu dan bangunan tanpa kantor, menempati ruangan yang mana saja akan ia terima sepanjang tak membahayakan murid-muridnya. Kalau hanya di depan WC, tak masalah. Di atas hamparan rumput, juga suka. Di bawah guyuran hujan, belajarnya menjadi ajang main gobak sodor atau pun… Tak mungkin lah, belajar main remi berbasah kuyup kecuali sebelumnya belajar jampi-jampi menaklukkan petir dari kanjeng Sunan.
Untungnya, tak seperti sekolah-sekolah yang lain, sekolah Bagong hanya mengedepankan semangat. Sepanjang anak-anak senang mencari dan melakukan sesuatu, ia dengan gembira akan selalu menemani. Tak usah kau bertanya pada murid-muridnya apa mata pelajaran esok hari. Kau hanya akan mendapat jawaban nihil karena murid-muridnya siap belajar apa saja. Jika membahas sejarah, misalnya, kau bisa mendapati hitungan, bahasa inggris, batak, sansakerta, bahkan huruf-huruf hieroglif yang berbentuk simbol-simbol.
Sungguh, kali ini ia merasa beruntung karena Bu Ning datang menemaninya.
“Untung tadi aku gak ke rumah, Kak Gong.”
Siapa pula yang menyuruh ke rumah, batin Bagong. Sudah tahu kalau kita baru saja punya kelas baru. Kalau sekedar aula, apalagi empang, dan rumah warga, bukan sekolah itu namanya. Ini baru keren. Semuanya berpagar tembok, hanya ada pintu dan jendela. Meski panas dan harus berpanas-panasan, ini baru namanya sekolah. Tak percaya? Coba tanya ke Mang Soleh di pangkalan angkot sana. Hihihi…
“Enak di aula, Kak Gong, panaaaasss di _dieu_, mah… Ayo kita pindah saja.”
Loh, rasanya aku cuma membatin, bagaimana Bu Ning tahu apa yang kupikirkan.
“Ayo, Kak Gong, kita ke sana saja!”
“Kok kau tahu apa yang ada dalam batinku?”
“Batin? Kak Gong jelas-jelas ngomel sendiri gitu.”
Bagong malu setengah hidup. Ia mulai sadar, ada yang tidak beres dengan dirinya. Di depan Bu Ning, ia mati-matian mengendalikan pikiran, perasaan dan merah padam wajahnya.
“Kita baru saja mendapatkan kelas, sayang ‘kan kalau dilewatkan. Bukankah selama ini cita-cita kita memang demikian?”
Bu ning malas menanggapinya.
“Kita sudah sepakat belajar di saung-saung, masak Kak Gong lupa. Benar-benar sudah mulai… kasiha…” kata Bu Ning dalam hati.
Ia lantas menawarkan untuk salawatan dengan alasan, “Kan mau pentas, kak Gong.”
Lagi pula, siapa gerangan mampu menolak lagu yang punya ikatan dengan sejarah masa lalunya.
Tak lama kemudian, kelas pun berubah menjadi ajang konser yang menggeletar. Sudut-sudut ruang kelas lain, kantor, wc, halaman, gudang, dan pikiran para guru, bergetar terkena imbasnya. Ada yang bergoyang-goyang tanpa sadar, tapi mungkin tak sedikit pula yang cemberut sambil menggerutu, “Sudah dikasih hati, ambil ampela… Awas…”
Bagong tak peduli, kepala pundak lutut kakinya bergoyang meriah sambil sesekali mengambil gambar dan video.
Seperti tari saman yang bisa berhenti mendadak, ia nyaris pingsan karena bunyi handphonenya menyampaikan berita:
“Saya sesungguhnya sedang berjuang, mengatasi gundah: Mia ndak betah di ruang kelas. Tugasnya hari ini mencari sebanyak2nya verbs (gunakan kamus), ditulis di buku. Misal belajar : study, memakai : wear, menggunakan : use, dll. Kmdn membuat kalimat sebanyak2nya dg verbs tersebut. Jika yg mau tantangan lebih, buat paragraf. Biasanya barok, rizki, dwi, dillah, kholqi, mau tantangan lebih utk sains, lakukan pengamatan. Anak2 bisa sambil jalan atau main. Pengamatannya: sains dan teknologi di sekitar kita. Apa manfaatnya bagi kehidupan kita? Tulis di buku dalam bentuk essay. Nah saya ke sekolahnya besok saja ya… daripada ribet… hehe..”
Bagong tak bingung. Ia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Uban yang mulai bermunculan menjadi tanda yang tak bisa dikhianati. Bagong pun segera merespon di antara kepala pundak lutut kakinya yang kembali bergoyang:
“Halah Bu, sekolah kita mah santai saja, sepanjang mrk masih belajar, ya sudahlah krn situasinya spt ini. Acr kang reno jg jgn dipaksakan hrs minggu ini, klo tak siap. Alon2 asal kelakon, makin matang, pentas akan makin baik, apalgi konsumsi publik. Ini usulku.”
“Siapa sih, Mak Gong?”
“Bukan siapa-siapa. Yang jelas, teman kita. Katanya senang kita punya kelas baru.”
“Kita terus apa?”
“Jang…”
“Bok…bok… _Geusan_, kita ke Bu Mamas _ayeunak_… Keburu bayinya _asup deui_…”
Selasa, 12 September 2017
Hadi Surya