SUDAH sejak dari semula muncul ke dunia, anak turunan manusia adalah misteri terbesar jagat raya kita. Makhluk yang satu ini, menggumuli hidupnya dari satu pertanyaan ke jawaban berikutnya. Dari rasa penasaran berlanjut pencarian yang tiada sudah. Berbekal akalnya semata, manusia bisa memikirkan diri sendiri yang berpikir tentang pikiran, yang memikirkan. Berdasar cara semudah ini sejatinya kita sudah beroleh sebuah ilmu. Bukan pengetahuan, bukan sekadar wawacan.
Masa depan yang dulu pernah kita nantikan, ternyata sudah dijalani hari ini. Masa lalu yang telah kita lintasi, padahal adalah hari ini yang menyatu bersama penantian sarat misteri. Pada dasarnya, kita semua memulai langkah pertama hidup seturut rasa ketidaktahuan. Apakah itu berupa keyakinan, pilihan, atau tindakan. Meski kita tahu tabir rahasia menyelubungi, namun dengan tekun kita menyibaknya helai demi helai. Kendati tak mengerti apa², namun kita kerap berupaya memafhumi apa saja.
Ketika mengawali hari perdana sekolah Cerdik Cendekia, kami juga tak tahu harus bagaimana dengan sekolah yang gedungnya pun tak ada–kecuali bahwa kami harus mengajari diri sendiri agar terus bersabar dalam menjalani detik per detik keniscayaan. Toh pada ghalibnya, sekolah itu tidak sama dengan ruangan kelas. Sekolah adalah ruang belajar-mengajar. Jadi di mana saja kita berada, jika dua hal itu terjadi, maka sesungguhnya kita sedang melibatkan diri dalam belajar mengerti hidup.
Semua teman & adik² yang pernah terlibat dalam pendirian sekolah ini sejak masih berusia nol, telah mendidik mereka sendiri untuk percaya pada keindahan hidup yang bertitik tolak dari ketiadaan. Pada ranah inilah kami berjibaku membangun kebudayaan menggali ilmu di sekolah–yang tak lain merupakan diri mereka masing². Tak ada yang lebih menggairahkan tinimbang melakukan temuan baru sepanjang karir kemanusiaan. Meski sejatinya tak ada yang baru di bawah matahari, tapi bagi anak² manusia, perjalanan rasa hidupnya adalah kata kunci dari pintu² rahasia yang siap ia buka dengan kesadaran baru.
Guru terbaik itu tak pernah mengajar–kecuali terus menerus belajar. Murid paling teladan itu, ialah mereka yang sadar bahwa dirinya pembelajar sejati kehidupan. Murid seorang guru, ya dirinya sendiri. Guru seorang murid, ya diri sendiri. Murid yang menyadari kebodohannya, sama dengan guru yang pintar. Guru yang sadar pada kekurangannya, adalah murid yang cerdas bagi dirinya pribadi. Jika hidup dilakoni dengan kesadaran, maka indahlah kisah yang kan tersusun di atas kanvas sejarah manusia. []
Ren Muhammad
18 November 1927 Saka