MENDIDIK anak manusia tak cukup bijak bila diserahkan pada kerja seorang menteri. Pun seorang presiden. Apalagi lembaga semacam sekolah, pesantren, atau seminari. Sebagus apa pun sekolah, tak semua muridnya lulus cemerlang dan kelak menjadi guru. Setua bagaimana pun usia pesantren, dua-tiga saja santrinya yang berhasil jadi kiyai. Selebihnya, jadi manusia dengan pilihan hidup mereka masingmasing.
Perkara kita bukan pada sekolahnya. Bukan soal sistem dan kurikulum yang rapuh. Meniru Finlandia sebagai negara dengan format paedagogi terbaik pun, tetap bukan jawaban. Manusia Eropa jelas beda dengan kita. Corak berpikir mereka logis-matematis, kita fraktal. Bersekolah itu tak sama dengan kewajiban belajar. Murid sekolah hari ini diarahkan ke industri. Sementara belajar, wajib sampai menjelang mati.
Kalau tak sudi anak Anda jadi robot kantoran dan kapitalisme, ajarilah ia mengenali diri dan alam sekitarnya. Bekali ia dengan kemampuan membaca-menulis-berhitung. Arahkan ia menandai bakat yang dianugerahkan tuhan padanya. Agar ia mengerti, betapa dunia kita kian sulit dimengerti bila hanya mengandalkan selembar ijazah saja. Sadarilah, guru terbaik manusia adalah peng(alam)annya sendiri. Sebab manusia pembelajar sejati. []
Omah Prabata, 6 Dzulkaidah 1437 H