oleh Yusuf Triswana
PERSIS kenangan setahun lalu, hari itu, Selasa, 18 September 2018, kami semua belajar di rumah kak Hadi—salah seorang pendiri sekolah Cerdik Cendekia. Sekolahku yang belum lagi berdiri bangunannya. Sehari-hari, kami biasa belajar di sebuah aula milik sekolah Cendekia, yang lucunya juga didirikan kak Hadi, dan ia terpaksa meninggalkan “anaknya yang tercinta itu” dengan alasan yang tak bisa saya ceritakan di sini. Pada hari membahagiakan itu, kami tak bisa belajar di aula karena ada stadium general di sana. Meskipun dua sekolah yang kumaksud ini berjarak hanya sekitar serratus meter, kami tetap belajar dengan suka cita.
Keterbatasan tak menghalangi kami untuk mendapatkan ilmu. Kami mulai terbiasa. Apalagi kalau di tetangga sebelah yang konon saudara tua kami itu sedang belajar, sementara kami malah kerja bakti membangun gedung sekolah. Bisa tidak kalian membayangkannya? Kali ini, saya takkan mengisahkan serunya belajar dalam suasana kerjabakti, tapi lebih dari itu. Begini. Selesai kerja bakti, semua teman pulang kecuali saya dan Dafit. Kami berteduh di bawah lembaran tripleks di antara rerimbunan daun pohon pisang. Tiba-tiba kak Hadi datang memberi tantangan. Kami tinggal hanya menjawab berani atau tidak. Kak Hadi tak mau memberitahu apa tantangannya. Spontan saya bilang berani, tapi kak Hadi menekankan berkali-kali.
“Benar berani?”
Mendengar itu kami mulai ragu. Namun gejolak dan gemuruh hati memaksa kami untuk bilang sekali lagi dan lagi, “Berani, Kak…!”
Saya dan Dafit pun bertanya lagi pada ka hadi, “Memang tantangannya apa sih, Kak?”
Melihat kami bersemangat, Kak Hadi lantas pergi meninggalkan kami. Beliau masuk ke dalam rumahnya lewat pintu dapur dan keluar lagi sembari membawa sebuah buku baru yang masih terbungkus plastik. Ternyata buku novel itu hasil kerja kerasnya membangun sekolah Cendekia yang ia rangkum sendiri dan diberi judul: Guru Para Pemimpi. Disaksikan dua kakak kelas, dan Ucen (anak bontotnya), kak Hadi bilang, “Tolong kasihkan buku ini ke guru berjilbab merah yang sedang berbicara di aula sana. Kalian berani kan?”
Sebentar kemudian kami saling tengok dan akhirnya menjawab sekali lagi, “Ya, kami berani, Kak.” Dafit segera meminjam ikat pinggang ke Bedog. Ia merapikan baju di kaca kamar jendela begitu lama. Sepatu pun ia kenakan. Serapi mungkin. Kami pun lantas beranjak pergi. Sedang buku yang sudah dipindahtangankan itu beratnya semakin bertambah sehingga langkah kami menjadi begitu berat. Saat kami hendak menghampiri sosok yang dimaksud, kaki saya pun gemetar. Dengkul jadi berdetak beradu. Semangat Dafit pun mulai surut. Kami panik. Nyali menciut, dan akhirnya terduduk lemas di atas akar pohon salam. Tak jauh dari aula. Sambil terduduk bingung karena nyaris semua mata di aula seolah mengintimidasi, kami mengatur nafas yang memburu sambil menunggu momentum yang tepat.
“Dia orang penting dan tak patut memotong pembicaraan,” kata Dafit bak orang tua memberi petuah. Padahal wajahnya juga pucat pasi. Dafit dan aku mondar-mandir dengan tubuh gemetaran. Merasa pegal berdiri, kami akhirnya terduduk lagi. Mengatur strategi. Kami duduk berhadapan. Dada Dafit nampak turun naik. Raut wajahnya makin terlihat pucat. Ia jelas deg-degan. Pun dengan saya. Tak lama muncullah kejaiban. Kayla, anak mang Enji—yang bertetangga dengan Cendekia, seketika masuk ke ruang aula. Menyadari adanya kesempatan, kami pun segera beranjak, ikut menerobos masuk ke aula. Ibu berjilbab merah sempat melihat ke arah Dafit. Mungkin ia mengira kami akan mengambil Kayla.
Kayla memang selalu ikut nimbrung bersama kami kala belajar di aula. Saat gadis cilik itu hendak berbicara ke siswa Cendekia yang sedang duduk, kami langsung menghampiri ibu jilbab merah sambil menyodorkan buku.
“Ada titipan dari bapak pemulung sampah yang ada di sebelah sana itu, Bu.” ujar saya seraya menunjuk ke arah kak Hadi yang sedang duduk lokasi sekolah kami. Ibu jilbab merah terkejut, lantas berkata, “Oh terimakasih banyak yah…”
Sekilas kulihat sorot mata pak Iqro, kepala sekolah Cendekia, tajam menatap kami. Seolah bola matanya akan meloncat keluar. Seperti kami, dari tadi ia juga mondar-mandir. Mungkin curiga pada kami, atau apa, saya tak tahu. Namun yang penting, buku sudah sampai ke tangan yang berhak. Kami pun langsung undur diri pada ibu jilbab merah, lalu salim. Saat itu, semua siswa-siswi Cendekia menatap ke arah kami. Menambah beban lutut ini kian berat saja. Hati saya lega. Seolah beban lenyap dari sekujur tubuhku. Sedang Dafit, ia melepas sepatunya, diangkat tinggi, lalu dilempar ke kolam ikan mang Enji. Rupanya ia stress berat.?✌❤