Berdirinya Sekolah Kami

 

KEHADIRAN Zaman Baru di tengah kehidupan abad modern ini, memaksa seluruh fakultas diri yang kita miliki, harus diperbarui. Indra (empiris), akal, intuisi, rasa, terus menerus digempur fenomena lama terbarukan. Cara kita berkomunikasi, bekerja, bergaul, beragama, bertindak, belajar, berpikir, berubah total. Hampir sulit melakukan perenungan pada zaman yang tunggang langgang begini.

Orangorang berlomba jadi pusat perhatian. Jejaring media sosial berhasil mengejawantahkan betapa rumitnya alam pikiran manusia. Siapa saja bisa jadi apa pun. Sak karepe dewe. Seorang mantan penjual pembalut haid, serta-merta beralih jadi penganjur agama–berbekal internet belaka. Masyarakat jadi sekumpulan akun² yang kehilangan akal sehat. Lantas kepayahan menjawab mana yang lebih utama dipelajari; hidup atau agama.

Seluruh institusi yang mendaku sebagai basis pendidik anak² manusia, kerap terjebak pada matrikulasi nilai numerik, dogma, & doktrin. Melulu berkutat dalam hal ikhwal pengetahuan. Bukan pada penggalian makna yang dikandung dalam rahim ilmu. Sejatinya pada yang demikian itulah sekolah Cerdik Cendekia berpijak. Setahun lalu sekolah ini tuna graha. Tapi bukan berarti tidak berdaya. Kami tak lelah mengumpulkan segenap etos perjuangan atas nama kemanusiaan. Tidak sama sekali bergantung pada pundi² harta yang bersalin jadi amal jariyah. Tak.

Di bawah duli anak² manusia yang mengabdikan diri di sekolah sederhana ini, kami hanya sedang berusaha menerapkan petuah Syeikh Nawawi al Bantani, “Saya adalah debu yang melekat pada orang yang mencari ilmu.”

 

Ren Muhammad

Jeruk Purut, 2 Mei 2019