Matahari sedang terik-teriknya menyengat kulit tatlaka para murid SMP Cerdik Cendekia berkumpul di sebuah pekarangan di Desa Babakan, Ciseeng. Mereka tidak sedang bermain, bukan juga bersiap tuk memasuki ruangan kelas yang jelas tak mereka miliki. Melainkan, sedang bersiap tuk mengunjungi rumah salahsatu murid laki-laki yang sedang sakit bernama Saepudin. Murid-murid tak berseragam itu berjalan beriringan menuju rumah udin yang tak jauh dari tempat mereka berkumpul semula, dipimpin oleh seorang guru perempuan yang bernama Bu Farkha. Setelah sampai dan menyalimi takzim Bibi dari Udin, mereka lantas bergegas menyiapkan bahan-bahan dan alat masak di samping rumah yang ditinggali Udin.
Ya, Udin tinggal dengan Bibi dan sepupu-sepupunya dirumah sederhana berwarna hijau. Ayahnya telah meninggal dunia sejak Udin berusia 1 tahun, di usia itu pula ia dititipkan dirumah bibinya oleh sang ibu. Ia hanya berkesempatan bertemu ibunya setahun sekali di momen Idul Fitri, itupun tak lama. Meski harus tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang kedua orangtua, hal itu tak lantas merenggut keceriaan Udin sebagai seorang anak yang sedang tumbuh dan belajar. Kedatangan guru serta teman sekelas Udin kerumahnya memang sudah direncanakan ketika mereka mengetahui Udin tak datang belajar ke sekolah. Setelah duduk dan bersilaturahim dengan Bibinya, barulah kami mengetahui bahwa Udin memang memiliki daya tahan tubuh yang rendah dibandingan dengan anak lain.
Agenda menjenguk Udin dan bersilaturahim dengan keluarganya dilanjutkan dengan praktek memasak. Setiap anak diberikan tugas untuk membawa bahan dan peralatan masak dari rumah masing-masing. Menu masakan hari ini adalah, nasi liwet, tempe, tahu dan sambal ikan teri. Memasak bukan menjadi hal yang janggal bagi kami, malah anak-anak sudah mampu menjual hasil olahan makanannya ke orang-orang di kampung dan mengumpulkan hasilnya untuk biaya tur belajar di penghujung semester nanti. Murid-murid di Cerdik Cendekia sejak awal memang lebih sering melakukan praktik belajar tinimbang membahas teori. Sama halnya dengan menjenguk murid yang sakit kemudian belajar dirumahnya, dengan cara itulah mereka belajar laku hidup yang toleran dan belas kasih terhadap sesama.
Di zaman modern dan sebegini maju, masih adakah sekolah yang menerapkan sistem belajar dan praktik seperti ini? Menjadikan pendekatan emosional antar guru, murid dan orangtuanya sebagai fondasi utama untuk membangun hubungan belajar yang positif. Kalaulah ada dan setiap sekolah terutama guru mampu menerapkan hal ini kepada murid-muridnya, pastilah sekolah tak lagi menjadi momok menakutkan dan beban bagi mereka. Justru sebaliknya, sekolah dan belajar akan berubah menjadi kegiatan menyenangkan lagi meriah tuk di jalani.
Waktu menunjukkan pukul 14.45 WIB, tiba saat mereka kembali kerumah setelah menjalani kegiatan memasak, berlatih teater, dan bernyanyi—sejak pagi. Lagu laskar pelangi menjadi penutup perjumpaan hari ini. Esok, mereka harus melanjutkan belajar. Bukan di ruang kelas lengkap dengan bangku, meja, dan papan tulis. Namun di ruang belajar dengan pepohonan sebagai lukisan alam dan langit sebagai payungnya. Jauh dari kebisingan dan hirukpikuk kehidupan kota, anak-anak Cerdik Cendekia di tempa menjadi generasi penerus yang berdaya guna dengan cinta, kasih sayang, dan keceriaan sebagai unsur utamanya. []
Ciseeng, Kamis 24 Agustus 2017.