SEBELUM dunia memasuki alaf ketiga seperti yang kini sedang kita jalani, anakanak kecil sampai usia remaja, sering terlihat berkumpul pada sore hari. Bermain sesuka hati. Segala jenis permainan rakyat, jadi langganan mereka. Termasuk saya yang pernah tumbuh di era 80-an. Dari kesenangan bermain itulah, pelajaran kehidupan tanpa sadar sedang dipelajari. Galasin mengajarkan cara bekerja sama. Egrang melatih keseimbangan hidup. Congklak mengandung perhitungan matematis dan kejujuran. Sondakh tentang ketepatan berpikir.
Mari kita tengok hari ini. Anakanak sekolah mulai kehilangan keceriaan belajarnya. Dalam pikiran mereka barangkali hanya tersisa tugas demi tugas–yang sialnya berjubelan sampai di rumah. Sementara orangtua hanya tahu nilai mereka harus berangka delapan sampai sepuluh. Rapotnya tak boleh “kebakaran.” Raut wajah mereka suntuk. Tegang melulu. Wajar bila beberapa di antara mereka mencari pelampiasan di jalanan, narkotika, seks bebas. Hidupnya tuna makna. Padahal merekalah pelanjut tongkat estafet hidup di kemudian nanti.
Manakala belajar di sekolah sudah menjadi rutinitas harian yang menjemukan, para guru perlu mencari cara tuk membuat pelajaran yang diampunya agar menyenangkan. Buku pelajaran tak selamanya bisa dijadikan acuan. Lembar catatan pun kadang tak dibaca ulang oleh para pelajar saat mereka tiba di kediaman. Belajar adalah cara manusia mengenali diri dan sekitarnya. Bukan hanya soal catat mencatat. Menerangkan dan diterangkan.
Anak didik di sekolah, harus juga dikenalkan pada beragam cara menggali ilmu. Belajar sambil bercanda, juga ampuh tuk menanamkan nilai indah kehidupan–pada mereka. Toh pada ghalibnya, hidup hanya sekadar singgah. Mampir ketawa. Sebelum akhirnya purnasia. “Wa ma l-hayatud dunyaa illa la`ibun wa lahwun, walad darul akhiratu khairul lillazdiina yattaquuna, afalaa ta`qiluun: Dan tidaklah kehidupan dunia ini, selain bersenda gurau (bercanda/dolan) belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orangorang yang betakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am [6]: 32) []
Pabangbon, 22 September 1439 H