Sepanjang sepengetahuan saya dalam dunia pendidikan, tak pernah ada sekolah yang dibangun sendiri oleh para siswa dan calon siswanya. Mereka bergotong-royong dengan suka ria. Tawa dan bahagia tersirat di raut wajahnya. Walaupun tak secepat dan selihai para tukang bangunan, akan tetapi untuk anak yang baru akan menginjak bangku sekolah menengah pertama, hal itu sungguh benar sangat mengagumkan dan luarbiasa bagi saya–yang dahulu tidak mengalaminya.
Dengan hanya bermodal niat dan semangat swadaya, mereka membangun sekolahnya tanpa beban sedikit pun. Justru yang terjadi, mereka menganggap membangun sekolah adalah salah satu dari belajar sambil bermain. Tak ada donatur tunggal. Mereka hanya meyakini satu hal, jika sudah berniat baik berdoa dan sudah berusaha yang bisa kita lakukan tidak mungkin alam raya dan Sang Pemilik Segalanya hanya diam saja. Dari segala jerih payah mereka tanpa beban, saya pun benar² menyaksikan keringat tak akan menghianati hasil.
Mereka tak iri dengan teman sebayanya yang hanya tinggal duduk menjadi siswa saja. Itu pun orang tuanya yang mengurus segalanya. Dia hanya tahu beresnya saja. Kata mereka, “itu seru bagi dia, tapi bagi kami yang seru tuh begini, Kak…” ujar salah seorang murid kami itu. Seorang bocah yang masih belia ini sudah mengajariku yang berusia jauh lebih tua darinya tentang mensyukuri dan menikmati hidup yang telah diberikan Tuhan kepada kita semua.
Berjibaku bersama demi mencapai tujuan yang sama, ternyata bisa membuat segala hal menjadi mudah, bahkan untuk hal yang tidak mungkin bila dikaitkan dengan logika. Dalam hidup, segalanya seperti telah difasilitasi. Akan tetapi apakah kita mau atau tidak mengambil dan berkorban untuk hidup kita sendiri.
Saya yang kala itu sudah menjadi mahasiswa S1 dari perguruan negeri di Jakarta, jelas dibuat malu akan gelar maha(siswa) yang saya sandang kala. Menggunakan pacul saja saya tidak becus. Bersentuhan dengan lumpur saja membuat saya jijik. Tapi tidak dengan mereka. Saat itu ada salah seorang dari mereka kakinya terluka karena terkena pacul. Ia tak menangis apalagi merengek kesakitan. Bagi mereka itu adalah hal yang teramat biasa.
Bahkan untuk segala resiko yang memang bisa saja terjadi kapan pun mereka tak pernah ketakutan akan hal itu. Justru yang terlihat hanyalah mereka akrab dengan resikonya. Sehingga mereka tak perlu menakuti suatu hal yang akan terjadi padanya. Hal ini sangat teramat bertentangan dalam segi ilmu bisnis yang bahkan resiko saja masih harus dirapatkan secara serius. Kalau bisa tidak terjadi atau setidaknya memperkecil skalanya.
Mereka tak seserius itu menghadapi resiko. Mereka hanya tahu belajar dan bermain. Pun ada hal baru yang terjadi dalam hidupnya, mereka hadapi dan jalani dengan canda-tawa. Jadi benar lah Alquran, hidup itu hanya sendau gurau saja. Akan tetapi sendau gurau yang mereka pahami, ya belajar sambil bermain.
Pernah kala itu kami semua saling menumpukkan tangan lalu memanjatkan doa bersama. Hal itu membuat sekujur darah dalam tubuh ini bergeletar. Tubuh ini seperti baru saja mendapatkan pasokan energi yang termat dahsyat, yang baru pertama saya rasakan. Melakukan sesuatu yang spontan atau seketika tanpa direncanakan terlebih dahulu, hanya menggunakan asas gotong-royong dan semangat swadaya, ternyata berefek besar tuk bekal menyambut hidup yang akan datang.
Setiaphari selama kurang lebih dua bulan, kami bekerjasama membangun gedung sekolah. Ternyata itu tak membuat jenuh, bosan, dan kapok. Menjalani semuanya dengan tulus dan tanpa beban sedikit pun, rupanya bisa membuat kami semua istiqomah setia di jalan hidup masing² dan menghasilkan kebahagiaan yang teramat indah dihadiahkan oleh hidup untuk kami–yang sama-sama saling mencintai.