Ada-ada saja. Itulah yang Bagong rasakan saat berkesempatan menginap di salah satu sekolah di Bogor. Tepatnya di kampung Babakan Sabrang, Ciseeng.
“Acaranya malam hari,” kata panitia. Karena yang diundang hanya Bagong seorang–hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya karena tak mungkin rasanya terpisah dari Gareng, Petruk dan Bapak Semar supaya bisa tetap berbagi rizki, maka ia membawa serta istri dan ketiga anaknya.
“Ayah bikinkan surat ijin saja, ya. Di sini belajar, di sana pun belajar. Cuma bedanya kalau di sini kalian hanya sibuk catat mencatat dan dengerin ceramah, konon di sana gurunya yang sibuk mencatat dan dengarkan ceramah,” kata Bagong membujuk anak-anaknya.
“Kok bisa, Yah?” celetuk sang istri.
“Nyatat apa yang dilakukan muridnya untuk evaluasi. Muridnya yang sibuk melakukan ini itu, mulai dari nyari bahan sampai diskusi dan mempresentasikan di hadapan guru dan teman-temannya. Asyik, ‘kan?”
Sang istri nyinyir. Kalau sekolah semacam itu, lebih baik Bagong dan dirinya saja yang mengajar. Anak-anak Bagong justru menyambut dengan riang gembira.
“Kita bisa main sampai puas, ‘kan, Yah?”
“Justru sekolah itu ya harus main,” sahut Bagong sambil menoleh ke sang istri.
“Itulah kenapa, Ma, Ki Hajar Dewantoro menyebutnya Taman Siswa. Namanya taman ya main.”
Lagi-lagi sang istri nyinyir, “Sekolah model opo kuwi… Kita yang lulus SMANSA favorit saja cuma bisa _ndagel_, apalagi sekolah yang gak jelas macam itu. Jangan dengerin ayahmu!”
“Sudah tak usah berdebat, kita lihat saja nanti, ayo buruan berkemas!”
Walau terasa berat karena takut anak-anaknya justru tergiur dan tak mau pulang, sang istri tak bisa menolak karena itu adalah kesempatan Bagong menafkahi diri dan keluarganya. Melawak atau mendongeng. Sejak dipaksa undur diri dari majelis taklim dekat rumahnya–yang sekaligus menjadi tempatnya bergantung, Bagong melakukan apa saja demi keluarganya. Kalau sedang tak ada santri di majelis taklim, ia terpaksa ngepel sendirian di pagi dan sore hari. “Yang penting halal,” begitu katanya.
Kenyataan bahwa Bagong telah ikut mendirikan majelis taklim, sudah dilupakan banyak orang. Semua melengos, senyum pun cuma sedikit karena rasa sungkan yang mencekam. Bagong sungkan. Teman-temannya? Wah, tak tahu dan tak bisa diceritakan. Satu yang jelas, mereka sudah jarang duduk ngopi dan ngudud bareng. Anak-anak juragan krupuk dan cendol yang dulu belajar alif ba ta bersamanya, tak lagi mau berkunjung ke rumah. Sekarang Bagong bukanlah siapa-siapa.
***
Mereka sampai di Ciseeng selepas zuhur. Tuan rumah, anak-anak, dan para guru menyambutnya dengan hangat. Bagong dan istrinya kaget karena tak lama setelah turun dari angkot, anak-anak menyambutnya dengan lagu Ilir-ilir.
“Kok mereka tahu ya kalau kita dari Jawa?” kata Bagong.
“Bukan kita,” sahut istrinya sambil mencubit.
Bagong baru sadar kampung halaman istrinya, Palembang tulen.
“Anak-anak kita, anak-anak Nusantara, ya,” kata Bagong sambil tak henti melempar senyum pada semua tuan rumah.
“Mereka juga…”
“Kita semua.”
Bagong merasakan betapa hangatnya sekolah ini. Kesan pertama yang langsung ia tangkap adalah kuatnya persaudaraan.
“Gak gampang awalnya, Pak Gong,” kata Tuan Rumah.
“Tapi begitulah tekat kami semua di sini. Apalah artinya punya banyak ilmu tapi ujungnya bersimpati pun tak mau, apalagi berempati? Nilai-nilai seperti ini harus mendarah daging.”
Bagong dan istrinya manggut-manggut. Sementara anak-anaknya sudah seperti kuda lepas dari pingitan, melihat dan mencoba egrang. Rupanya menyambut Muharam, sekolah ini, Cerdik Cendekia, mengadakan festival dolanan tradisional.
***
“Aneh, ya, Yah. Jadi ingat waktu kecil. Cuma apa untungnya, coba,” kata sang istri.
“Apa kubilang,” sahut Bagong.
Tuan Rumah memandang Bagong dan istrinya dengan teduh.
“Leluhur kita tak sembarangan menciptakan semua ini,” kata Tuan Rumah memulai. “Engrang misalnya, cocok untuk anak laki sekaligus mengajarkan bagaimana keseimbangan hidup. Main kelereng, itu belajar kalkulasi, ambil keputusan, ketepatan ruang dan waktu, dan seterusnya…”
“Diajarkan bikin ketupat juga, Pak?” sergah Bagong.
“Bukan hanya bikinnya, tapi kita lebih melihat rangsangan kinestetik, penanaman nilai-nilai kesabaran, keuletan, ketelitian…”
“Benar, Pak!” kata Bagong berbinar, “istri saya paling cepat selesai.”
“Oh, ya?”
“Hancurnya…”
Tak terasa azan Magrib berkumandang. Mereka salat Magrib berjamaah di aula sekolah.
“Pesan dari donatur kalau aula ini juga harus dipakai untuk salat. Saya tak tahu bagaimana nanti kalau musala tetangga sebelah itu jadi,” kata Tuan Rumah.
“Mestinya gak perlu banyak-banyak musala ya, Pak. Sayang rasanya,” kata Bagong, “mending buat beli buku untuk perpustakaan di musala yang sudah ada, atau modal usaha buat warga sekitar.”
“Buat ke KUA juga bagus, Pak Gong.”
Bagong dan sang istri terperanjat.
“Minjamin yang mau nikah bawah tangan,” lanjut Tuan Rumah.
Istri Bagong melotot.
“Ayah…kita harus main bola api!” teriak anak-anak Bagong serentak.
Sekolah macam apakah ini?
***
Sepulang dari Babakan-Ciseeng, Bagong dan istrinya menghabiskan malam 7 Muharam dengan menghampar tikar di pelataran depan rumah. Sementara ketiga anaknya, Hedaro, Inyo, dan Huceno, bermain petak umpet. Bagong dan istrinya tak habis pikir. Sekolah itu sudah mulai memantau bakat dan minat anak didiknya sejak pertama kali masuk sekolah. Satu hal yang ganjil adalah bagaimana silsilah keluarga masuk kategori acuan. Tentu saja tanpa meninggalkan ilmu psikologi yang berupa goresan tulisan dan gambar.
“Kita tak ingin menghabiskan waktu dan energi hanya karena salah memilah dan memilih potensi sang anak. Setiap anak akan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Setiap anak tak mungkin sama. Setiap anak unik, dan setiap anak itu cerdas,” kata salah seorang relawan guru malam itu.
Sang istri mengangkat bahu, entah setuju atau kah tidak.
“Tahu gak, Ma, satu hal yang kuperhatikan?”
“Apa?”
“Mereka berbinar-binar, sungguh. Kesungguhan dan semangatnya terpancar terang di tengah keterbatasan. Lantas, bagaimana kita mengatakan sekolah itu…sembarangan?”
Pasutri itu memandangi majelis taklim yang masih segar teringat menorehkan banyak kenangan. Bagaimana Bagong memasang keramik dinding, dan upahnya dimasukan ke kas supaya teman-temannya ada harapan pinjam di tanggal tua. Bagaimana Bagong punya kantor kecil yang selalu terdengar lagu ciptaan teman-temannya sendiri. Bagaimana Bagong memberikan semangat kepada teman-temannya yang ingin menikah.
“Tak lebih dari seminggu menjelang nikah, aku masih tak punya uang seperak pun,” kata Bagong, “Tuhan tak mungkin diam atas niat baik hambanya.”
Istrinya senyap sejenak, lalu mulai sesenggukan. Bagong membiarkan dan tak mau mengusik. Biarlah sang istri menumpahkan seluruh kegundahannya, begitu pikir Bagong.
Bulan sabit mulai tampak di langit biru. Kumpulan mega yang membentuk gunung, menghimpit di kanan dan kirinya. Anak-anak Bagong mulai mendekat, lalu rebahan di antara Bagong dan istrinya. Mereka berjajar seperti sosis panggang.
“Ayah,” kata Hedaro memecah kesunyian, “kenapa bulan sabit itu selalu mengikuti ke mana pun aku lari?”
“Hmmm… Menurut Mas Hedar kenapa?”
“Gak tahu.”
Bagong tak ingin menjelaskan sesuatu yang malah membuat bingung. Ia bisa saja mengatakan semua itu tergantung sudut pandang. Semakin jauh letak sesuatu, semakin nampak melambat terhadap kita. Ini akan bertambah rumit jika dipaksakan. Untuk mencari aman, ia suka bertanya balik karena biasanya ada sesuatu yang sudah dimiliki dari pertanyaan yang terlontar.
“Coba ya,” kata Hedaro yang langsung bangkit berlari jauh sambil matanya terus mengamati sang bulan.
“Kakak ke sana,ikut ke sana.
Kakak kemari, ikut lagi. Kenapa, Bunda?”
Sang bunda masih membisu menahan kesedihan.
“Ayah juga gak tahu, Kak,” kata Bagong.
“Dia lagi suka sama kita, kali,” celetuk Inyo.
“Ya, ya… Bee…naaar. Tak mungkin kalau tak suka dia menampakkan diri,” sahut Bagong.
“Tuh, kan,” kata Inyo menyambut kemenangannya.
Mereka berlima pun kembali menatap sang rembulan yang tampak makin terang. Sementara Huceno sudah terlelap kelelahan.
“Ayah,” kata Hedaro, “kenapa tak pernah lagi mengajar teman-teman di majelis sana?”
“Bagaimana kalau ayah mengajar di Cerdik Cendekia itu?”
“Kita sekolah di sana saja, ya, Yah,” sahut Inyo, “kita bisa main egrang, main bola… Inyo juga pengin main teater kayak kakak-kakak itu. Jadi Ultraman, Ceno Batman, dan Kakak…emmm, apa ya?”
“Naruto. Ayah tahu gak waktu Naruto tes naik tingkat sama guru Takashi, yang gak boleh makan itu?”
“Gimana ceritanya?”
“Kan si Naruto melakukan kesalahan. Nah, dihukumlah oleh guru Kakashi. Naruto diikat di tiang, Sasuke dan Sakura tak boleh ngasih makan. Setelah itu, guru Kakashi pergi. Mulailah mereka lapar. Sasuke dan Sakura mulai membuka bekal makanannya. Tapi lihat Naruto tak makan, mereka kasihan, tapi takut sama guru Kakashi. Tapi Sasuke berani. Dia ngasih makanannya untuk Naruto. Akhirnya Sakura juga ngasih bekalnya. Mereka bertiga makan, tiba-tiba datanglah guru Kakashi. Mereka kaget dan takut karena pasti gagal ujiannya. ‘Kalian tahu,’ kata guru Kakashi, ‘seorang ninja yang melanggar aturan itu sampah. Tapi seorang ninja yang meninggalkan temannya itu lebih buruk daripada sampah. Jadi, kalian lulus…'”
Bulan sabit mulai bergerak tepat di atas kepala mereka. Sementara istrinya menyisakan napas yang terdengar, Bagong mulai merenung. Apakah sisa hidupnya akan ia habiskan dengan mendirikan sekolah macam Cerdik Cendekia? Tapi apa yang ia miliki? Mendirikan majelis taklim saja sudah susah, belum lagi cakar mencakar sesama kawan. Tapi…
“Ayah…”
“Hmmm…”
“Kapan kita ke Cerdik Cendekia lagi?”