Atma-Nagari (आत्म-नगरि)

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau dan sungai yang mengalir jernih, tinggal seorang gadis muda bernama Atma. Atma, putri dari keluarga yang sangat menghargai kebudayaan dan sejarah tanah kelahiran mereka, hidup dalam lingkungan yang sarat dengan tradisi dan adat istiadat yang telah berlangsung turun-temurun. Setiap hari, ia dibesarkan dengan kisah-kisah dari neneknya tentang bagaimana leluhur mereka mendirikan desa dan menjaga warisan budaya mereka.

 

Suatu pagi, ketika sinar matahari mulai menyapa lembah desa, Atma memutuskan untuk mengunjungi rumah tua neneknya. Rumah itu, dengan dinding bambu dan atap daun rumbia, adalah tempat di mana berbagai upacara adat dilaksanakan. Atma duduk di kursi anyaman yang telah lapuk, mendengarkan neneknya bercerita tentang sejarah desa. Neneknya dengan penuh khidmat menjelaskan betapa pentingnya melestarikan adat istiadat, yang bukan sekadar ritual, melainkan inti dari identitas mereka.

 

Neneknya sering mengutip petuah leluhur, “धर्म एव हतो हन्ति धर्मो रक्षति रक्षितः” (Dharmo eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ), yang berarti, “Kehidupan yang berlandaskan dharma bakti akan melindungi dan melestarikan dirinya sendiri.” Ia menjelaskan bahwa kebudayaan lokal terdiri dari elemen-elemen berharga: adat, bahasa, seni, dan ritual. Dengan semangat yang menyala, neneknya mengajarkan Atma seni membuat kerajinan tangan tradisional yang diwariskan turun-temurun. “Ini bukan sekadar mencipta dengan tangan kita,” kata neneknya, “melainkan tentang menghargai dan meneruskan nilai-nilai yang telah membentuk desa kita.”

 

Atma kemudian menyelami berbagai upacara adat desa, seperti upacara panen dan perayaan hari-hari besar. Ia menyadari bahwa setiap ritual menyimpan makna mendalam, dan bahwa generasi terdahulu menyampaikan nilai-nilai moral dan sosial melalui praktik-praktik ini. Dalam setiap kisah yang disampaikan neneknya, sering terdengar pepatah, “अप्रणमत्सु हरिः पाशः” (Apramanatsu hariḥ pāśaḥ), “Ketidakpedulian adalah belenggu.”

 

Selama proses belajar tersebut, Atma semakin menyadari pentingnya melestarikan adat dan istiadat. Kebudayaan mereka terasa sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini. “Adat dan istiadat ini adalah bagian dari kita dan tak terpisahkan,” kata neneknya. “Tanpa pengetahuan tentang sejarah, kita akan kehilangan arah.” Neneknya menegaskan bahwa, “यो धर्मस्तस्य सदा मित्रः” (Yo dharmastasya sadā mitraḥ), “Seseorang yang hidup di dalam kebenaran akan selalu memiliki teman.”

Bersambung…

Rama Pati

Pengajar si sekolah Atmanagari