Menjadi generasi muda yang amburadul dan tidak acuh, aku hanya bisa memercayai sejarah sebatas konon saja. Aku belum melakukan apapun untuk membuktikan kebenarannya. Jadi, jika sahabat menyebutku lancang, mohon dimaafkan. Bukankah memaafkan itu lebih baik? Kelancanganku ini karena kupikir ada hubungan denganku. Setidaknya ada kemiripan. Jika ada yang mengatakan sejarah itu berulang dan hanya pelakunya saja yang berubah, kurasa aku dan kau, duhai Sahabatku, akan sama-sama memercayainya.
Konon, ketika Bung Karno dipaksa untuk meninggalkan istana, ia hanya membawa teks proklamasi dan selembar bendera merah putih. Generasi sepertiku sulit memahami bagaimana peristiwa itu terjadi. Bagaimana mungkin, orang besar yang nyaris semua pemimpin di dunia mengenalnya, bisa bernasib mengenaskan.
“Tekanan seperti apakah yang membuatnya terburu-buru seperti diburu monster? Mungkinkah seseorang yang disegani dan dicintai rakyatnya–serta memiliku sebutan paduka, seolah merasa ketakutan. Ah, tak bolehkah aku meragukannya?”
“Lantas, apa hubungannya denganmu, Gong?”
“Bagaimana mungkin pemegang tongkat kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, tak melakukan perlawanan sedikit pun?”
“Gong, hubungannya dengan dikau apa?”
“Nelson Mandela–Sang Pejuang Hak kaum tertindas, jauh-jauh merangkak dari Afrika Selatan, hanya ingin melihat kobaran semangatnya, justru lari terbirit-birit?”
“Bukankah ketika moncong tank yang ingin memberangus hidup dan perjuangannya, langsung balik badan begitu wajah kerasnya muncul disertai gertak halilintar, ‘Balik!’?”
“Gong… Gong… Eling, Gong… ini kelas menulis.”
“Apa?”
“Ke… Las me… Nu… Lis. Jangan ngelantur…”
“O…”
“Apa hubungannya dengan dirimu, duhai Sahabatku?”
Bagong tersipu malu, “Kalau aku, benar-benar lari terbirit sambil bawa AJB…”
“Bagooooong…”
Senin, 11 September 2017
Hadi Surya