Pendidikan Sejati

Bagas, siswa kelas 7 Atmanagari saat sedang menyaksikan teman-temannya lomba (Foto diambil oleh Rama Pati)

Apa jadinya jika dulu kita mangkir dari belajar berjalan atau bicara? Betapa repotnya hari ini jika kita kesulitan berjalan atau bicara. Tapi bagaimana sebetulnya cara bayi manusia belajar tengkurap, duduk, merangkak, berdiri, berjalan hingga bicara? Betulkah orangtuanya yang mengajari? Atau ada sistem kecerdasan bawaan yang menuntun manusia untuk mandiri belajar?

 

Dewasa ini kita sudah begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ada yang 9  tahun mengenyam pendidikan, yang beruntung melanjutkan hingga 13 tahun atau lebih. Sekolah, universitas, atau institut adalah lembaga paling lazim dijadikan sumber rujukan ilmu pengetahuan.

 

Nyaris semua orangtua senang jika anak-anaknya berprestasi di tempat mereka mengais ilmu. Nilai tinggi atau juara kelas, jadi tolak ukur umum kebanggaan.

 

Tapi betulkah pendidikan di negeri kita baik-baik saja? Apakah anak-anak kita disekolahkan agar pintar? Bagaimana jika sebetulnya anak-anak kita pintar secara bawaan lahir tapi sekolah justru menghambatnya untuk berkembang?

 

Dibanyak kesempatan, para pendidik di sekolah seringkali mengatakan,  siswa diharap mempunyai kompetensi yang berguna ketika mereka bekerja. Juga sudah menjadi rahasia umum, anak anak kita disekolahkan agar setidaknya kelak mendapat pekerjaan yang layak. Jadi untuk apa pendidikan digelar? Betul kah demi mencerdaskan bangsa?

 

Pertama-tama  saya akan menjelaskan lebih lanjut mengenai sistem kecerdasaan bawaan manusia. Dan yang kedua akan saya jabarkan adanya ketidak singkronan antara sistem kecerdasan dasar manusia dengan sistem pendidikan yang kadung kita yakini sebagai jalan selamat umat manusia.

Bersambung…

Luqman l-Hakim – Pengajar di Atmanagari