USAI sudah perjalanan Cerdik Cendekia melakoni wayahnya dalam sejarah. Kini nama itu resmi masuk ke dalam lemari ingatan, yang bisa hilang atau datang sesukanya. Kini kami harus menjalani masa² bulan madu dengan keadaan-kenyataan baru. Kesadaran yang lama mengendap, membuncah jadi nama Atmanagari.
Kenapa harus berganti nama? Ada apa dengan nama yang lama? Benarkah nama itu mengandung semacam tanda alam? Andai para pengagum Shakespeare tahu jawaban dari pertanyaan itu, mereka takkan lagi meyakini ujaran idolanya, “Apalah arti sebuah nama.”
Setelah Adam resmi berstatus sebagai puncak penciptaan, Tuhan mengajarinya nama² dari segala sesuatu. Penahbisan itu adalah bukti betapa perkara nama tak bisa dianggap remeh. Silakan Anda bayangkan sendiri bagaimana rumitnya kehidupan kita pribadi tanpa mengemban sebuah nama?
Harus dengan cara apakah orang lain memanggil kita? Bung, mas, mbak, maneh, bang, torang? Jika terlampau sering dipanggil begitu pun, bukankah tetap menjadi nama? Bung Karno contohnya. Panggilan itu seperti tersemat begitu saja pada Sang Proklamator. Nyaris tanpa penolakan.
Kami memilih Atmanagari sebagai nama, bukan seketika jadi. Ada latar belakang panjang yang tak mungkin dijelaskan di sini secara panjang lebar. Tapi demi memenuhi tanggung jawab moral, bolehlah kiranya hal itu kami babarkan barang sekilas.
Sejak sekolah ini kami dirikan, ada beberapa kondisi yang seolah harus kami terima dan lakoni.
Pertama, alam mengajak kami bergotong-royong membangun dengan semangat swadaya. Selalu saja ada orang² baik yang membantu tanpa diminta. Kami bahkan tak perlu menghiba di hadapan mereka.
Kedua, terciptanya suasana guyub yang terjadi begitu saja. Kami seperti dipersaudarakan oleh rasa yang sama, tujuan yang sama, cita yang sama. Pun masing² pikiran kami sering kali berbenturan, namun itu semua tak sanggup merobek tenun paguyuban yang kadung menjadi songket nan indah.
Ketiga, spirit bertumbuh yang terus mengakar, bertunas, menjadi batang, dahan, ranting, dan dedaunan. Pohon keyakinan itu memang belum terlalu besar. Paling tidak, sudah cukup rindang untuk menaungi kami dari terik matahari, dari hujan yang berkepanjangan. Teramat sangat cukup menjadi tempat berteduh pengembara mana pun yang hendak singgah.
Ketiga alasan itu, lazim terjadi pada masyarakat yang tinggal di perkampungan. Nah, kampung pulalah yang jadi wahana kami selama ini. Atmanagari adalah rumah sederhana bagi anak² ketempatan. Warga pribumi yang lahir dan besar dari para petani & petambak ikan. Kebudayaan mereka otentik.
Ketika dulu melihat angkatan pertama membangun sekolahnya sendiri, mereka bisa sama gembira & bersemangat ketika mengejar layangan yang peugat di udara. Padahal tak satu pun mereka paham seputar rancang bangunan, tapi sekolah ini kemudian berdiri juga. Keringat & jerih payah mereka lah yang jadi soko gurunya.
Semoga kelak semangat hidup mereka bisa membumbung lebih tinggi dari layangan. Lebih kokoh tinimbang batu karang. Karena alasan tersebut pula, Atmanagari bertahan. Mengantar mereka ke gerbang zaman baru, yang sudah dihela para sais peradaban. []
Ren Muhammad, 16 Agustus 2020.