Merah (Darah) Putih

 

KALA masih di sekolah dasar dulu, patik yang dhaif ini sepenuhnya tak mengerti arti penting upacara bendera setiap awal pekan. Terkadang kegiatan rutin macam tuh lebih sering jadi tekanan, tinimbang pelajaran. Lebih tepatnya, menjemukan. Baru setelah melintasi tiga dekade usia, terkuaklah tabir rahasia kehidupan ini sehelai demi helai. Di antaranya ya terkait pengibaran bendera merah putih di sekolah itu.

Setelah berpuluh tahun tak lagi terlibat dalam kegiatan upacara, pada Jumat, 17 Agustus 2018 kali ini, adik² Cerdik Cendekia mengajari kami nilai ajaib sakralitas dari sebuah ritus sejarah. Kami berusaha mencari jawaban bagaimana pergeseran pemahaman itu bisa terjadi sedemikian rupa. Ternyata jawabannya bukan pada soal sekolah kami yang baru seumuran jagung, atau upacara perdana di sekolah–yang setali seikat dengan ritual kecil Proklamasi di Pegangsaan saat negara ini baru berumur sekian menit.

Jawaban itu senyatanya tumbuh bersama binaran jiwa yang terus membuncah. Melahirkan pemahaman baru yang menenggelamkan keyakinan lama. Meluaskan kesadaran selebar sabar. Apa pun nama dan bentuknya, hidup ini sejatinya berisi upacara perayaan sedari kelahiran hingga kematian. Segalanya kita peringati. Dikenang sebagai tinggalan anak-cucu. Kita tak perlu terlalu dengan pembakuan, apalagi kebekuan. Toh para bijak bestari Islam telah mewariskan pada kita perangkat berpikir semacam nih: ambillah kebaikan dari masa lalu–dan yang terbaik dari hari ini.

Hidup ini mengalir dalam aliran Darah, dan kemudian bertiup merambati jagat Mayapada bersama udara terakhir yang kita hela. Kendati berbangsa dan bernegara sama belaka dengan imajinasi–seperti kata Cak Bennedict Anderson, namun pada ghalibnya, kecintaan kita pada negeri ini sudah dan akan terus mengalir deras kerana kita berasal dari tanahnya, minum airnya, memasak hidup dari apinya, dan menghirup kesegaran udaranya. Ya, kauaku adalah INDONESIA! Begitulah… []

Ren Muhammad, 18 Agustus 1439 H