Melampahi Diri

 

MEDITASI, sebuah disiplin ilmu yang sudah bertahan ribuan tahun lamanya. Para yogini Hindu yang hidup di tepian Sungai Gangga–sebelum Buddha Gautama lahir, telah mengajarkannya pada para bhiku sejak 2500 SM. Siddharta Buddha kemudian hadir di tengah komunitas aksial ini dan mengubah pola meditasi mereka yang melulu terpusat di tubuh. Buddha menemukan jalur lain. Meditasi harus mengantarkan manusia pada damma dan nibbana. Pada kearifan yang terlepas dari karma.

Lahir, tumbuh, besar, beranak-pinak, sakit, dan menua, merupakan kondisi yang tak mungkin dihindari manusia–dan itu menyiksa. Maka ia pun melepaskan diri dari semua jeratan itu. Meninggalkan segala yang bukan dirinya, untuk kemudian kembali ke diri sendiri. Ia mencari di mana dirinya berada. Sampai akhirnya ia pun tiba di pohon Boddhi, dan menemukan pencerahan, lalu mhoksa.

Jauh melampaui itu, Meditasi adalah perkara pengenalan diri sejati yang tak pernah hilang. Maka ia tak perlu dicari. Tak ada yang pergi dari kita, kecuali kenangan. Tiada lebih dekat dari kita selain kerinduan pada perjumpaan di masa depan–yang ternyata dimulai di sini, sekarang, kini. Hidup yang hakiki teraduk dalam tiga matra itu; kemarin, hari ini, dan esok. Manusia yang hidupnya tak terjerat kenangan, tak diseret angan, adalah manusia yang berbakat bahagia sepanjang masa.

Lantaran itulah kami mengajak para santri Cerdik Cendekia duduk manekung. Mendiamkan cecabang pikiran. Menyelaraskan denyardenyar syaraf. Menyalakan kesadaran tertinggi. Belajar dalam hidup, dan hidup dalam belajar–tentang segala rahasia, misteri, keajaiban di semesta ciptaan yang tak hingga ini. Mereka, pun kita, perlu segera memafhumi bahwa keterbatasan hidup kita, dilingkupi ketakterbatasan Ilahiah. Sejak belum ada ruang-waktu, hingga waktu kembali meruang. []

Ren Muhammad

Pasundan, 18 April 2018