Sejarah Diri

Ada tiga cara atau langkah untuk melemahkan dan menjajah sebuah bangsa.

 

Pertama. Kaburkan Sejarahnya

Kedua. Hancurkan bukti bukti sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya.

Ketiga. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan bahwa leluhur itu bodoh dan primitif.

 

dikutip dari buku

“Architects of Deception – author Juri Lina”

(Sumber: pojoklinimasa.blogspot.co.id/2013/09/cara-menghancurkan-dan-menjajah-sebuah.html?m=1)

*

Sejak mempelajari sejarah bangsa sendiri di sekolah, betapa lugunya imajinasi yang saya bangun untuk menggambarkan leluhur kita di nusantara. Terbelakang dan lugu, sebab katanya leluhur kita menyembah pepohonan dan batu-batuan, serta gagap mengikuti perkembangan zaman.

Seiring bertambahnya usia dan wawasan, imajinasi itu mulai runtuh perlahan-lahan. Guru kami, sering membeberkan alasan-alasan yang menggugat sejarah keumuman.

Begitu banyak peninggalan sejarah yang masih bisa kita nikmati sekarang, menjadi bukti keteledoran sejarah yang berkembang. Seperti Candi Borobudur yang membelalak mata dunia. Melihat kemegahannya, sedikit saja dari kita yang tersadar bahwa betapa leluhur kita bukan orang biasa-biasa saja, apa lagi terbelakang.

Belum lagi Situs Gunung Padang di Cianjur. Piramida yang diperkirakan sudah ada sejak zaman prasejarah ini adalah piramida tertua yang pernah ditemukan. Umurnya melampaui Piramida Giza di Mesir.

Sialnya, teknologi apa yang dipakai kala itu jadi kalah menarik dengan mitos yang beredar. Sudah mempercayai mitosnya pun, masih belum menarik minat kita mempelajarinya. Dengan teknologi ataupun kesaktian, sesungguhnya peradaban leluhur kita terlampau maju.

Begitu juga jika menelisik pepatah-pepatah kuno yang ditinggalkan para leluhur turun temurun. Rasanya mustahil jika kita lahir dari bangsa yang terbelakang. Bangsa buta huruf yang menyembah benda keramat kata para penjajah berambut jagung.

Bahkan leluhur kita terlalu bijaksana menyikapi hidup. Jika mau dibandingkan dengan kondisi kita hari ini, pemuda kita bahkan semakin jauh dari sopan santun dan perilaku beradab. Dalam hal ini saya pun termasuk pelakunya. Apa lagi menyikapi hidup, sudah diumur 26 tahun saja saya masih gagap menjalaninya.

“Mulih kajati mulang kaasal”. Sebuah pepatah dari tanah sunda memiliki makna serupa dengan “innalillahiwainnailaihirojiun”. Semuanya berasal dari Yang Maha Kuasa yang maha murbeng alam, semua orang akan kembali ke asalnya. Orang jawa lebih akrab dengan “Manunggaling kawulo Gusti”.

Di tanah batak, masih bertahan agama peninggalan leluhur, Agama Parmalim. Tuhan dalam Parmalim adalah “Debata Mulajadi Na Bolon”. Yang “Maha Awal, dan “Maha Besar”. Ada pula “Sang Hyang Taya”, yang diyakini penganut Kapitayan di dataran Sunda. Maknanya adalah “Dzat yang tidak bisa didefinisikan, yang tidak dapat didekati dengan Panca Indra”. Lantas pohon dan batu mana yang disembah?

Tak hanya sejarah besar bangsa Nusantara yang bias. Sejarah pohon keluarga kami pun gelap gulita. Tidak satu pun keluarga saya mampu menjelaskan sejarah kakek-nenek moyang kami.

Mengenali sejarah sendiri, menjadi begitu penting bagi saya. Menggali sejarah sendiri, sama halnya seperti menggali sejarah bangsa. Mengetahui kebesaran bangsa nusantara, merubah pola pikir yang berdampak pada kehidupan. Sama halnya ketika buta sejarah keluarga sendiri.

Hari ini, saya terlanjur menelan kebodohan diri sendiri. Masa lalu yang saya lewati dengan acuh pada diri, habis sudah dalam kesia-siaan. Barangkali leluhur saya yang telah sampai pada puncak kehidupan dengan berdaya guna, sedang bersedih melihat cucunya yang bingung dan tersesat.

Sejarah keluarga kami masih menjadi misteri. Sementara hutang kelahiran pada kakek-nenek moyang masih harus ditunaikan. Yaitu menggali sejarah hidup mereka sebagai pelajaran, serta memberi manfaat bagi kehidupan.

 

Luqman l-Hakim
Cilacap – Sabtu, 23 Desember 2017