Apa kabarmu, Sahabat? Semoga sehat. Kalau pun tak, jangan kurangi rasa bersyukurmu, setidaknya kau sadar masih bisa bernapas. Sepertiku, apa kau juga penasaran, ngidam apa sebenarnya ibunda Bagong saat hamil Bagong? Alasan jadul dan ndeso sih, tapi tak ada salahnya, bukan? Rasa tidak ingin tahumu, apa karena alasanku yang tidak tertulis, tidak ilmiah, dan tidak ada di bangku sekolah? Jika berpikirmu masih seperti itu, rasanya terlalu naif, Sahabat. Ternyata masih banyak hal yang bisa didapat di luar internet, buku, dan bangku sekolah, benar, ‘kan? Kalau mau dan kautahu, sekaranglah kesempatanmu untuk menuliskannya. Tak usahlah sewot jika dianggap tak masuk akal. Bukankah segala penemuan baru berawal dari tertawaan banyak orang?
Kembali ke soal Bagong, ibunya ngidam apa coba, hingga keluar orang macam dia itu. Rasa-rasanya mencari tahu ini juga tidak mudah. Orang kampung, apalagi sudah puluhan tahun, karena sibuk bekerja biasanya jarang ingat pernah ngidam apa. Jadi, kalau ada orang bilang hidup susah karena malas bekerja, bolehkah aku mempertanyakannya? Mereka sadar, entah menjadi apa jika tak rajin bekerja. “Tak ada yang akan kasih kita makan.” Ah, lupakanlah kalau begitu, ribet!
Suro. Itulah bulan saat Bagong dilahirkan. Bagi orang Jawa, Suro itu bulan bukan sembarang bulan. Apa yang kutahu hanyalah, Sahabat tak bakal menemukan perayaan suka cita di dalamnya meski hasrat sudah menggebu di ubun-ubun. “Sabar,yo, Le!” Tak banyak omong, tak banyak cerita, tak banyak teori, tak banyak perintah, tapi dipaksa belajar oleh keadaan untuk mengalami sendiri apa itu “tahan”. Itulah tradisi. Kambing atau ayam memangnya tahan menahan hasrat? Tak usahlah unjuk dalil al insanu hayawanu annathiq. Bukankah kita hewan juga, kenapa keberatan? Soalnya Bagong malah bertanya, kenapa pakai al insanu bukannya al basyaru, samakah?
Selain Suro, konon kehamilan sang ibunda Bagong saat sedang laku hidup prihatin. Tapi yang ditemukan sekarang kok sosok yang suka melanggar janji sekaligus bandel. Bagaimana menghubungkan itu, atau andai semua itu adalah potongan-potongan puzzle, Sahabat, silahkan rangkai sendiri. Tapi yang paling enak tentu tak usah ambil pusing. Ya, sepertiku sekarang. Dasar gemblung… hihihi…
Dasar Pengingkar nan ndableg, Bagong telan ludah sendiri. Dikejar hutang tanah, diisukan padepokan tak jelas, akan dibubarkan di bulan Agustus, tanah yang mau diminta kembali, pembangunan bilik kelas yang terpatah-patah. Ah, entah apalagi yang dihadapi Bagong kala itu. Sejak itu, kutemukan tiada lagi senyum mengembang di bibirnya. Wajahnya nyaris selalu tertekuk, hanya meniti jalan tiap saat. Itu baru sebagian kalau tak dikatakan sedikit, alasan mengapa Bagong tak mau lagi mengulang ulah sableng-nya yang tanpa perhitungan.
Lubang yang sama. Mengulangnya hanya berarti jaminan jatuh ke dalam kesusahan. Tetapi keputusan sudah Bagong buat. SMP Emprit Jingga harus buka. Apalagi Dewa Ndaru pun mempersilakan. Tetap saja namanya ingkar janji. Telan ludah sendiri. Ingat, ‘kan, dia pernah bilang lebih baik pergi ke Mogadishu? Bilang kapok-kapok, kenyataannya judi lagi. Setelah Bagong menyatakan dibuka, yang ia utarakan pada teman-temannya, entah karena gamang atau tidak, Bagong tak juga mulai bertindak. Saat ngobrol, tak sedikit pun ia singgung tentang padepokan SMP baru nanti. Siapa yang mau bantu mengajar, di mana, bagaimana mendapatkan dana operasional, kapan dapat legalitas, dan sebagainya. Ia malah suka menggoda teman-temannya saat beribadah. Orang ini betul-betul sableng.
“Kang Gong, masyarakat sudah banyak yang bertanya, kapan dibuka pendaftaran?” kata Wage.
Sahabat, apakah engkau masih ingat Wage yang berkumpul di aula beberapa waktu lalu? Bagong mulai mengenalnya sekitar dua atau tiga tahun setelah Emprit Jingga berdiri. Kala itu, Wage baru masuk guna mengasah ilmu mengajar di Emprit Jingga. Kelak ia pun menyunting kembang kamboja blasteran di Emprit Jingga. Nampaknya Bagong dan Wage dulu sering bermain di lapangan yang sama, tapi tak saling kenal. Bagong suka main bola, Wage suka main poker di bawah pohon cempedak. Bagong hutang minum karena haus, Wage sering tertidur hingga kotoran burung pun suka hinggap di bibirnya.
Bagong hanya tersenyum. Bisu tiada jawab. Seminggu berlalu sudah. Pertanyaan kapan pendaftaran dibuka tiada henti, terus bergema dalam benak Bagong.
“Ayolah Kak Gong, kita buka pendaftaran. Mereka mau belajar ke mana lagi? Semua padepokan boleh bilang gratis, tapi tetap saja tidak. Tetanggaku… tetanggaku, bagaimana nasibnya…”
“Apanya yang bagaimana?”
“Ongkos andong pulang pergi tiap hari, dari mana coba?”
Dalam hati Bagong mungkin membatin, “Jangan hanya ingin nikmatnya saja. Berani membuat, harus berani tanggung jawab. Baru juga minta sekolah.” Mungkin itu adalah suara pikiran Bagong entah berapa tahun yang lalu. Itu pun masih mungkin karena rasanya Bagong tak sejauh itu berpikir. Pikirannya pendek sekali, hanya sedepan sajadah. Bagong masih membisu. Ya sudah, biarkanlah!
Jum’at itu tiba-tiba Dewa Toyo datang ke Emprit Jingga menjelang Asar. Dewa Toyo ini wakil Dewa Moyo di Kahyangan City Peduli kala beliau tiada. Dewa Toyo muncul di Kahyangan City Peduli karena merasa cocok. Sebelumnya, ia telah melanglang buana di dunia kerja. Menyandang status baru ini tentu saja bisa menaikkan harkat dan martabatnya. Ialah yang sering berkunjung ke Emprit Jingga karena selain bertugas menginspeksi kinerja para cantrik agar tetap berjalan di atas relnya, setidaknya ada jejak sejarah di sekitar wilayah Emprit Jingga yang pernah ia goreskan. Sekali jalan, dua tiga pulau terlampaui. Itu jualah kenapa–dari kabar angin yang bisa didapat, Kahyangan City Peduli berkenan merekrut Dewa Toyo ini. Jelas bukan hanya karena jalinan cinta kasih tapi lebih pada “apa salahnya kalau bisa hemat banyak energi”. Memangnya ada pekerjaan karena jalinan kasih? Ah, lupa teori “perkecualian”.
“Apa kabar, Kanjeng, mana kereta dan kuda sembraninya?” sapa Bagong. Staf yang lain mengkerut. Tapi tak semuanya, beberapa malah menyodorkan pipi dan cium tangan. Ngalap berkah. “Dari Kahyangan City apa…”
“Habis memberi pelatihan di Ceria sana,” tukas Dewa Toyo, “minggu depan kalian harus ikut pelatihan bagaimana menjadi pelayan yang super baik, service excellent. Kita semua yang bergerak di dunia pendidikan sekaligus melayani korban lumpur kedunguan dan kenestapaan kaum nestapa, harus bisa memberikan layanan terbaik bagi mereka. Kita tak boleh menyiakan amanah para penyumbang yang telah bersimpati pada aksi kita. Dosa kalau kita semua abai. Saya dengar semangat dan motivasi di sini mulai kendor. Ingat apa kata Dewa Ndaru? Tak ada pekerjaan semulia guru. Meski mereka miskin, tapi kita harus bisa memberikan pelayanan layaknya padepokan kaya…”
“Reng, rasanya kita nyaris pingsan tiap hari, ya. Dari pagi sampai mau magrib,” bisik Petruk.
“Malah istriku yang berkali-kali pingsan. Tak sampai tengah bulan sudah bingung. Untung saja padepokan punya kas,” sahut Gareng yang sengaja dikeraskan suaranya.
Dewa Toyo tak mendengar atau pura-pura, dan masih terus berujar, “Saya lihat akan ada lagi bantuan setelah penanaman bambu kuning selesai. Kita harus…”
“Em, maaf, Kanjeng, silakan duduk dulu,” kata Bagong sambil memberi isyarat ke Tuminah.
“Pahit apa manis, Kak Gong?” kata Tuminah.
“Manis,” sahut Dewa Toyo. Dewa Toyo tercekik kehausan setelah dari pagi hingga siang memberi wejangan pada mbok-mbok yang rela meliburkan diri dari pengajian rutin, hanya karena ingin buah hatinya tumbuh sehat dan lurus berkembang.
“Pintu kelas ini sebentar lagi juga akan dapat ganti. Jangan sampai kita semua mengecewakan orang-orang yang telah memercayai kita,” lanjut Dewa Moyo.
“Kapan Kanjeng Dewa Ndaru berkenan mampir kemari, Kanjeng?” kata Wage.
“Semuanya harus rapi dulu. Malu kalau kondisinya masih seperti ini. Bingung juga kalau nanti beliau bertanya 30 juta dapat mana saja…”
Di bilik kelas yang belum rapi lantai kayunya ini, dengan wajah-wajah lelah, Bagong dan teman-temannya terpaksa duduk melingkar mendengarkan kembali wejangan Dewa Toyo.
“Kehidupan lagi seret, tapi kita harus tetap optimis,” kata Dewa Toyo memulai, “transparansi keuangan harus akuntabel. Tidak boleh ada uang seperak pun yang tak ketahuan ke mana perginya. Dari dulu, Anda ini kok tidak paham-paham…”
Wage tiba-tiba berbisik ke Gareng. “Reng, katanya kalau Emprit Jingga dapat bantuan, harus seperti Ceria itu. Segera lapor ke Kahyangan, nanti Kahyangan memutuskan untuk apa. Tapi ku-crosschek, Ceria tidak melakukan itu. Berarti Dewa Toyo bohong, ‘kan, Reng?”
Mata Gareng melotot girang, Dewa Toyo melanjutkan, “Anda kalau bikin acara juga harus serius. Gladi kotor perlu supaya kalau mengundang orang tua, tidak memalukan. Adik-adik kita…”
Gareng berbisik pada Petruk, “Truk, Emprit Jingga dapat bantuan. Crosscheck ke Ceria. Dewa Toyo bohong.”
Petruk melotot kaget seperti terkena suntik, lantas tersenyum kecil, Dewa Toyo melanjutkan, “mumpung padepokan kita makin ‘ramping’, tahun depan kualitas harus ditingkatkan…”
Petruk menggeser pantat, berbisik pada Kliwon, “Emprit dapet bantuan kata Dewa Toy…”
“Ramping bagaimana, Kanjeng?” Wage bertanya.
“Daya konsentrasi pengurus di sini memang perlu di-upgrade,” desis Dewa Toyo, “ingat apa yang dikatakan Kanjeng Dewa Moyo?”
“Ooooo…”
Tangan Tuminah merambat-rambat ke dekat Bagong. Ia memberi sesobek kecil kertas. Bagong segera membukanya di depan Dewa Toyo seolah sedang membuka surat dari sang istri tercinta sendirian di dalam bilik kamarnya. Ia tersenyum getir.
Kang, tidakkah kita ribut tentang bantuan seperti gini setahun lalu. Terima atau tidak?
Minggu kedua, bulan Ramadan tahun lalu, Emprit Jingga mendapat bantuan dana karena berkenan hadir di padepokan jauh di luar kampung yang surplus segalanya. Bagong yang merasa punya kekuasaan tertinggi di Emprit Jingga dan melihat harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, tanpa banyak pikir dan bacot, langsung berinisiatif membagikannya ke teman-teman tanpa memberitahukan ke Kahyangan City Peduli. Apalagi ia merasa dana itu bukan dari Kahyangan City Peduli.
“Setetes embun buat Lebaran, ya,” kata Bagong pada teman-temannya. Sorak sorai bersahutan. Wajah-wajah lapar berat senyum, berubah sumringah. Bagong dan kawan-kawannya bergoyang-goyang hingga lupa diri.
“Sebisa mungkin, jagalah dirimu dan teman-temanmu dari kesusahan.” Inilah alasan yang sesungguhnya atas sikap dan keputusan Bagong. Dengan kepala-pundak-lutut-kakinya, ia saksikan sendiri apa yang didapat teman-temannya masih belum sebanding dengan pengorbanan mereka. Tak lama kemudian, suka cita itu pun berhenti gara-gara layanan pesan singkat Tuminah yang memberitahu apa yang terjadi. Semuanya terduduk lesu.
“Kalian harus ijin dulu pada kami seperti Ceria itu. Jangan main bagi-bagi saja. Santri-santri kamu dapat tidak?” ancam Dewa Toyo.
Ternyata keras kepala Bagong tak sekeras apa yang bisa dibayangkan. Tanpa merasa sebagai bawahan Dewa Toyo–tentu saja berbeda dengan sudut pandang Dewa Toyo, Bagong menghargai “Tertib” kebersamaan.
“Tanya balik, Tum,” kata Bagong pada Tuminah, “setelah itu, bersiaplah”.
“Siap apa, Kak Gong?”
“Nanti juga tahu.”
Tuminah segera mengirim pesan pada Dewa Toyo.
“Apa perlu kami tarik kembali, Kanjeng? Tak apa-apa, kok. Di kampung kami, sudah terbiasa saling mengembalikan.”
Tak ada balasan. Besar kemungkinan Dewa Toyo sudah terlanjur marah. “Emprit Jingga memang kurang ajar. Tak tahu adab. Saya merasa tak dihargai.”
“Hai, Kawan semua, siaaap!” kata Bagong dengan lantang.
Semuanya kaget, berdiri lantas berkumpul merubung Bagong.
“Ayo goyang lagi… Cubit-cubitan, oi, senggol-senggolan…”
***
Lupakanlah, Sahabat. Kita kembali ke ruang kelas di mana rapat akan segera berakhir.
“Soal SMP, Kanjeng,” sambung Wage kembali.
“Sudah diumumkan ke masyarakat kalau SMP ditutup?”
“Loh, kan Kang Bagong mau meneruskan.”
“Bagaimana sih, kan sudah dibilang tutup.”
“Kata Kang Bagong, Dewa Ndaru tak apa-apa. Mempersilakan…”
Bagong membenarkan dengan manthuk-manthuk, “Sungguh, Kanjeng. Beberapa hari lalu.”
“Kok saya tidak tahu,” kata Dewa Toyo kecut.
***
Sekarang Bagong ingin kirim tiga pesan ke Kahyangan City Peduli lewat Wage tapi harus menunggunya.
Wage sedang rapat rutin bersama Petruk, Gareng, Pahing, Pon, Kliwon, Juminten, Legi, Tumini dan Tuminah tiap pagi sekitar setengah jam–ini tradisi sangat bagus yang hanya menyisakan Bagong. Tak tahunya, Sahabat, Bagong selalu mangkir. Mentang-mentang sudah punya ruangan sendiri, bukannya memimpin rapat–orang-orang lupa kalau Bagong tipikal penyendiri sekaligus alergi rapat, ia malah bermeditasi atau menonton ulang video teater anak muridnya yang mampu masuk final ajang kompetisi SMA se-Jabodetabek. Pendiri dan panutan macam apa itu? Sangat mungkin ia jengah karena memang adalah sesosok manusia tak krasanan “Rapat terus, berubah ogah, kira-kira?”
Di sisi lain, yang justru sangat mungkin salah, rapat itu adalah ajang pembuktian dan proses pengukuhan “Inilah Aku Sekarang”. Sekedar itu? Tidak. Siapa yang bisa menduga apalagi menghentikannya.
Bagong terus menyepi dari pembicaraan penutupan dan pembukaan SMP-nya Ia tampak menikmati alam sunyi di padepokan seorang diri. Selain akan terjatuh pada lubang yang sama, ia punya alasan lain. Saat bertemu dengan bidadari Laksmi yang berkunjung kedua kalinya di Emprit Jingga, ia katakan, “Iya, Mbok, awalnya tak ada. Kalau toh kembali tiada mau diapakan lagi.” Anehnya ia katakan itu bukan bernada pasrah, tapi justru bersemangat. Sesekali ia juga teringat debat sengit soal model dan sistem pembelajaran tentang model baru dari Kahyangan City Peduli–supaya Bagong tak terlalu repot dan kelelahan, atau padepokan akan lebih berdaya guna jika dikelola layaknya perusahaan. Debat Bagong dengan Sang Direktur padepokan yang masih cuti hamil melahirkan sekaligus rawat inap. Perdebatan dan pertengkaran yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang karir Bagong. Perdebatan dan pertengkaran yang membawa kehangatan. Perdebatan dan pertengkaran yang membuktikan–seperti dalam kehidupan rumah tangga bersama sang istri tercintanya, “Oh, kita mulai sadar sedang bertumbuh”. Bagong tersenyum seorang diri. Lagi-lagi, dasar sableng.
Usai rapat singkat itu, Wage masuk ruang kantor Bagong. Sstt, Sahabat,15 tahun sejak Emprit Jingga berdiri, baru semester inilah Bagong punya kantor sendiri. Ini baru keren. Jika Sahabat masuk ke kantornya, tak bakal menemukan poster-poster pahlawan pendidikan ataupun Mark Marques, idola Bagong, selain Naruto. Bagong suka kedua orang itu karena ikutan anaknya, Hedaro. Ketahuan, bukan, kalau Bagong itu juga tak punya pendirian? Tak usah kaget jika Sahabat malah menemukan Ten Commandements of Kanjeng Sunan Kalijogo . Berjajar tak karuan di dinding yang lain, itu bukan piagam tapi “Surat pengantar iklan pendaftaran santri padepokan +++ yang siap memberikan Rp.+++ per santri”. Wow.
“Siap, Kang Gong?” kata Wage begitu melihat Bagong buka mata.
“Ya.”
“Begitu dong, baru mantap. Mundur terus, mundur terus. Katanya Senin, sekarang sudah hari apa? Sudahlah, apapun yang terjadi, kita hadapi. Masyarakat sudah bertanya terus loh…”
Lubang kesusahan yang sama siap menanti. Mungkin Bagong akan mencari aman. Apalagi ia bukan asli Emprit Jingga. “Bagong ke sini itu, modalnya hanya peler dan dengkul…” Ia dapat membuat asyik pernyataan itu ketika baru balik dari negeri seberang beberapa tahun silam. Di awal kedatangannya kembali ke Emprit Jingga itu, ia pun diingatkan sang istri tercinta, “Memangnya kita pindah ke sini untuk apa?” Kala itu Bagong tergiur dengan proyek perumahan yang memang disukainya. Sulit ditolak, karena selain ia pernah jadi kuli bangunan, sang kontraktor adalah pamannya sendiri.
Tampaknya Bagong selalu berhadapan dengan dua hal yang hampir selalu kontradiktif. Apa karena ini, ia tampak selalu lambat dan bahlul yang biasanya dibungkus dengan selalu tebar senyum lebarnya. Namun, Sahabat, saat pulang dari batu tulis di tengah sawah selepas bercengkrama dengan bintang Venus, ia bertemu dengan gadis seksi. Gadis yang akhirnya membuat Bagong lari tunggang langgang menjerit-jerit, setelah sadar dengan siapa ia berbicara–dasar mata keranjang–dan mengatakan “Kuputuskan ini karena hatiku senang, bukan yang lain.” Hanya itu? Ini bukti otentik ketakwarasannya sekaligus panjang otaknya yang hanya sesajadah. ika A adalah B, dan B adalah C, maka A adalah C. Setiap kebahagiaan bersumber dari suara hati. Bagong mengikuti suara hati. Jadi? Di depan, lubang tetap menantimu, Gong Bagong.
Akhirnya Wage menerima tiga lembar lontar.
“Untuk Dewa Ndaru, Dewa Moyo, dan Kahyangan City Peduli,” tegas Bagong.
“Siap laksanakan, Bos. Ini baru mantap,” kata Wage yang segera berlalu.
***
Bagong punya kebiasaan membakar sampah. Seminggu bisa tiga sampai empat kali. Ia mampu duduk berjam-jam di depan sampah hingga membuat para tetangga heran. Itu karena Emprit Jingga terasa hidup di Bogor yang sering diguyur hujan. Sukar sekali mendapatkan sampah rumahnya kering. Ini pulalah yang membuktikan betapa ketololannya. Kalau mau, mudah saja membakar sampahnya itu. Pergi ke dapur, ambil minyak sayur bekas, tabur, lantas bakar. Ia malah menemani api yang bukan hanya kecil, tapi sebentar-sebentar padam. Tak jarang mukanya legam gara-gara jaga api sambil nunggin meniup-niup. Wussh… wussh… wusshh… Ia bakar lagi, padam lagi. Tak jarang, sang istri tercintanya kesal melihat ulah Bagong itu.
“Ayah, Hucen minta mimik madu… inginnya sama ayaaaaah.”
Kebiasaan buruk inilah yang barangkali justru mengajarkan Bagong tentang kesabaran. Dasar Bagong, tetap saja ia tak sabar menunggu kabar balasan suratnya.
“Kang Ge, adakah kabar manis buatku?”
“Waduh, belum, Kang Gong,” jawab Wage karena memang belum.
Bagong menggerutu dua hari tiga malam yang memakan korban, istrinya.
“Biar dipijitin tiga cowok ganteng lain saja,” sindir sang istri.
Bagong malah cekikikan.
“Kang Ge, adakah kabar buruk buatku?”
“Cek ke mana, ya Kang?”
“Kamu kan dekat dengan Dewa Toyo…”
“Iya ya..”
Bagong membuang muka. Itu lantaran ia gemas ingin menendang pantat Wage. Tapi, Sahabat, kau pun tak akan melihat Bagong melakukan itu. Jika kesal, ia lebih memilih kabur dari pandangan, lalu duduk di pinggir empang belakang gubuknya. Menanti indahnya bangau putih yang muncul dari balik semak dengan sepasang anak membuntutinya.
Mungkin karena waktu yang semakin pendek jelang lebaran, Bagong kembali menguber Wage. Kebetulan Wage juga tak ada jam mengajar. “Coba Kau tanya sekali lagi,” kata Bagong.
“Sori, Kang Gong, saya lupa. Katanya hari ini sedang didiskusikan dengan Dewa Ndaru. Besok kita dapat kabarnya.”
Bagong langsung masuk ruangan kecilnya dari sisi tanpa pintu. Beruntung, pintu sebelah depan masih tertutup. Ayunan tangannya hanya mengenai udara, dan gobloknya, itu ia lakukan sembari tersenyum dengan pantat menyembul ke depan.
Selang tiga hari, begitu turun dari keledainya, Wage berlari kencang mencari Bagong. Kantor Tuminah, ruang kelas, kantor guru, lapangan, juga semak-semak, ia telisik namun Bagong tiada.
“Ada apa, Ge,” tanya Gareng.
“Lihat Kang Gong, tidak?”
“Tadi ada. Tahu ke mana dia?”
Tak seorang pun yang tahu di mana Bagong. Wage malas menyerah. Ia terus mencari. Itulah kegigihannya yang terus bertumbuh semenjak bersentuhan dengan Emprit Jingga.
“Oalaaaah… di sini rupanya toh.”
Bagong sedang berjibaku membersihkan WC. Jamur di lantai dan dinding mulai tampak bersih.
“Bagaimana caranya santri dan kawan-kawan sadar, ya, Ge? Tak mungkinlah kita ngomong ke orang lain sementara kita sendiri jorok begini.”
“Tak tahu lagi aku, Kang Gong. Padahal sebulan loh kita membudidayakan kebiasaan bersih.”
“Membudayakan?! Iya, bagaimana, kau bawa kabar buruk lagi?”
“Selamat dulu, dong, Kang Gong. Kita dapat jawaban Dewa Ndaru lewat Dewa Toyo.”
“Oh, ya?”
~21 Oktober 2017 | Batu Belang, Babakan, Ciseeng, Bogor
Hadi Surya