Sahabat, ada satu hal yang akan kuceritakan padamu. Ini sebuah rahasia besar dalam hidupku. Kalau bukan padamu, mungkin akan lebih baik jika cerita ini kubawa pergi bersama tuntasnya hidupku. Maukah kau menyimakku? Tapi kuingatkan, jika ternyata nanti ada hubungannya dengan dirimu, atau bahkan kau lebih parah dariku, jangan menyalahkanku hanya karena cerita ini berasal dariku.
Kau boleh saja memanggilku si gila nan pandir jika sedang berpapasan di jalan sepi. Kau boleh saja menganggapku edan hanya karena melihatku sedang bercengkrama dengan seorang ajengan. Tak usah heran apalagi terkejut. Tak banyak ilmu agama yang kupunya. Jadi sekarang kau tahu alasannya, ‘kan?
Kau pun tak usah bertanya andai sering mendapatiku duduk sendiri di kala sepi. Aku memang suka sendiri dan menyendiri, tapi ada hal paradok dalam diriku. Takut hantu meskipun jika hantu itu berparas jelita boneka berbie. Tak perlu menunggu bulu kudukku berdiri, aku akan lari tunggang langgang sekilat anjing memburu babi hutan. Jika terdengar lirih rintihan di pekatnya malam, aku bisa langsung melompat sejauh 6 meter, atau melintas tembok setinggi 5 meter dengan jantung nyaris copot.
Pun soal pekerjaan.
“Kang Gong boleh bersama-sama pakai ruangan kita kalau mau,” kata salah seorang manajer di perum sosial.
Aku hanya tersenyum sembari nyengir kuda kegelian.
Masihkah kau bersamaku, Sahabat?
Karena kesabaranmu ini, dengar, tak ada yang percaya kalau aku bikin gubuk pun sendirian. Mulai dari teman memancing, melancong, ngrumpi, ngopi, sampai teman bikin proyek milyaran yang gagal total gara-gara kasak kusuk sesama saudara. Semua membelalak dibalut wajah bego seperti iklan sabun mandi.
“Aku pun bisa bikin gubuk seperti ini, Bun,” kata seorang teman kepada istrinya, “tapi begitu selesai saya langsung mati esok harinya.”
Aku tidak percaya itu, seperti jika seandainya kau jadi diriku. Kebanyakan orang melihat apa yang sudah jadi. Sementara aku hanyalah orang yang malas berpikir. Apa yang bisa kulakukan untuk urusan gubuk ini, ya kulakukan saja, tanpa menunggu-nunggu. Kalau mau diibaratkan, sehari bisa pasang sebaris bata, ya pasang saja. Memang, untuk urusan rumah ini, aku tak lagi mengenal Sabtu dan Minggu. Aku hanya tahu bahwa selepas mengajari anak-anak kampung, kuhabiskan waktu dan tenagaku demi gubukku.
Kuberi tahu, Sahabat, seumur-umur rasanya aku belum pernah memasang bata sebelum ini. Tak salah jika kau bilang aku gila, karena memang benar adanya. Kuhabiskan setahun, Desember hingga Desember tahun berikutnya. Gubukku jadi sebagian, meski hanya untuk jadi tempat berteduh, dan supaya tak lagi hidup ngontrak. Sama sekali tak keren, ‘kan? Lantas kenapa aku berani melakukan itu? Apalagi kalau bukan “Terpaksa”. Titik. Silahkan kau ambil sendiri hikmah kenekatanku itu kalau pun mau, karena berikut ini akan kuceritakan yang agak seru. Dustaku.
Jika ibuku tak cukup sabar, entah aku akan menjadi anak yang bagaimana. Empat tahun tak pulang dan hanya memaksanya mendengarkan suaraku, menantu, dan cucu-cucunya saja. Gobloknya, aku tak merasa telah menyiksa orang yang paling berjasa sepanjang hidupku. Ini tak boleh Sahabat tiru, meski dengan dalih apa susahnya jaman sekarang, tele conference. Seandainya aku mendapatkan perlakuan tersebut, rasanya lebih baik tak punya anak yang tak tahu diri macam itu. Tapi ini sebatas kata. Jika itu terjadi, mungkin aku juga akan memaklumi dan memaafkannya meski terpaksa. Bagaimanapun darah daging tak bisa diputus hanya karena sulitnya keadaan.
“Aku ingin lihat rumahmu, ya, Cung. Masa’ kau tukangi sendiri,” pinta ibu saat kami mudik lebaran.
Dengan suka hati kami tentu mengabulkan permintaan itu. Mestinya kukatakan, “Ibu, ayolah berkunjung ke Bogor. Meski sepi, kami sekarang tak lagi bersesakan di rumah kontrakan.”
Dasar… Aku malah tersenyum. Setidaknya ibu bisa membantuku melipat baju atau menemani cucu-cucunya mana kala aku dan istriku bekerja. Sungguh, ini angan yang amat sangat kurang ajar.
Masalahnya, kami tak ada lagi pembantu di rumah pasca aku dipecat, minus apa pun. Tak usahlah Sahabat tanya apa itu minus apa pun? Lagi pula, itu juga alasan yang kucari-cari untuk membenarkan diriku yang tak mau kerepotan, ditambah tak tahu adab. Kutuk saja kalau Sahabat mau, biar kesalahanku tak terus menggunung.
Itu kali pertama ibu bisa terbang seperti burung.
“Tetap enak naik andong, ya,” katanya, “semilir, bisa sambil ngantuk-ngantuk theklak-thekluk, hati tak was-was.”
Sahabat tak perlu mrengut hanya karena setuju kalau apa-apa yang alamiah tetap tak ada bandingannya. Tapi kalau sesekali karena terpaksa?
Ibu seperti seorang “interogator” sekarang. Ia mengamati setiap detail tembok dan ruangan.
“Pamanmu kecewa lihat rumahmu karena memang dia kan tukang. Ibu rasa kamu tak salah pernah nguli bangunan.”
Hatiku mengembang, terbang, dengan wajah mendongak karena kesombongan yang menjalar. Tersenyumlah, Sahabat, jangan melulu mengutukku.
Bersama ibu, aku hanya punya seminggu kebersamaan. Maksudnya, selalu bersama. Di sisinya, tak ada yang bisa kukhawatirkan. Aku bisa berubah dari seorang ayah menjadi anak kecil yang teramat manja. Minta pijit … dan semuanya mulai berakhir.
Tujuh belas Juli, anak-anakku mulai pergi ke sekolah, juga ketiga puluh anakku yang lain. Mereka tak punya tempat belajar kecuali rumah, emperan, majelis taklim, dan pinggiran empang. Ibuku tak tahu.
“Kenapa anak-anakmu belajar di rumah?” kata ibu ketika melihat anak-anak bejibun di salah satu ruang kamarku.
Kukatakan kalau sekolah yang “ngangkang” persis di mulut rumahku sedang direnovasi. Mereka harus belajar di luar karena ruang kelas tak cukup. Aku masih beruntung karena punya alasan kuat yang tak kubuat-buat. Keberuntungan selanjutnya adalah ibu tak mengejarku dengan pertanyaan berikutnya seperti, “kenapa berpindah-pindah?” misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat kutakutkan jauh melebihi cengiran tuyul yang kepergok sedang menghitung duit curian.
Kau tahu, Sahabat, jawaban renovasi sekolah itu saja sudah kuanggap membohongi dirinya, meskipun benar seluruh kursi bangku teronggok di luar dan sebagian puing menutupi halaman gubukku. Kebohongan berikutnya, aku tak berterus terang. Sahabat, belum pernah rasanya kudapatkan situasi seperti ini, teramat sulit. Sejak belum lulus kuliah hingga detik ini, ibu hanya dan sudah tahu kalau anaknya sok bergaya juga belagu memberikan hidupnya pada anak-anak kampung. Bahkan kala bencana tsunami Aceh, saat belum ada sekolah itu, aku pun berangkat ke sana dari kampung ini. Ibu baru tahu setelah kepulanganku. Anak tak tahu adab.
Meski tak dikatakan, ia pasti tahu risiko yang ditanggung anaknya. Siapa pun akan berharap jika anak yang sudah dibesarkan apalagi menggondol gelar sarjana, akan membalas budi pada orang tuanya. Aku tersungkur tak mampu memahami betapa sulitnya ungkapan “kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggalah”.
Melihat keganjilan anak-anak, sekolah, dan aku, sangat mungkin ibu tahu semua perihal tentangku. Namun sepertinta ia tak mau atau tak ingin mengatakannya. Sementara aku jelas-jelas tak bisa mengatakannya hanya karena satu alasan. Aku tak ingin membuatnya bersedih, atau setidaknya kepikiran. Apa yang ibu pikirkan, melebihi apa yang bisa kupikirkan. Aku tak ingin melukai hatinya meski harus kutanggung kebohongan.
Hai Sahabat, sebelum ibuku bertanya, “Kok ada kemiripan sekolahmu itu dengan buku Guru Para Pemimpi, apa hubungannya?” mungkin engkau punya saran bagaimana menjelaskan pada ibuku bahwa aku dan ke-30 anakku bukan lagi bagian dari sekolah itu.
Engkau mungkin juga punya saran atas ketaktahuan adabku karena seingatku kali inilah aku berbohong kepadanya. Pintu rumah, pikiran, dan hatiku terbuka 24 jam menunggumu, asal tak Kau singgung-singgung kata pecat. Ingat, ya!
Hadi Surya