Rabu, 4 Oktober, selepas zuhur, halaman sekolah Cerdik Cendekia Ria tampak sepi. Murid-murid sudah pulang setelah salat zuhur berjamaah yang diimami teman mereka sendiri. Bagong yang biasanya menjadi imam–entah kenapa Bagong akhir-akhir ini keranjingan jadi imam, padahal mengurus diri sendiri saja tak becus, sedang beralasan kalau celananya dikencingi kucing yang sedang menandai area kekuasaannya, “Najis.”
“Kakak ganti celana dulu, kami tunggu, ya.”
“Waduh, lagi dicuci semua.”
“Ya sudah, sarungan saja, Kak.”
“Buat dekor pentas teater, gak tahu taruh di mana.”
“Kak Bagong nyari alasan saja.”
Dengan senyum kasih, Bagong katakan, “Memang iya.”
Entah salah atau tidak, Bagong ingin mengajarkan satu hal. Adik-adiknya harus belajar mengadapi situasi dan sebisa mungkin menghindari berburuk sangka meski apa yang disangkakan benar adanya. Bagong punya harapan agar mereka kelak kalaupun tak menjadi manusia bijak, setidaknya belajar untuk bijak.
Beberapa siswa masih tertinggal, atau sengaja belum mau pulang. Mereka masih mengutak-atik buah karyanya di pelajaran kreat di kelas Bu Rinrin. Lihat, Imam masih memandang miniatur hewan-hewan kertas di dalam kotak kecilnya. Ia membayangkan cerita-cerita yang bisa dimainkan lewat wayang kertasnya. Hewan-hewanan itu digantung dengan seutas tali yang terhubung dengan tangan si pendalang. Barangkali ia tertantang memperbesar kotaknya seukuran semeter persegi.
“Kamu bisa mendongeng di depan teman-teman ngajimu,” kata bu Fariang Gembira, yang kemudian diamini Bu Rinrin.
Lain Imam, lain Holki. Holki sibuk memamerkan jemuran mungilnya ke bu Rinrin. “Anak-anak kecil tetangga saya suka main boneka-bonekaan. Pakaiannya juga bagus-bagus. Tak mungkin kan kalau mereka tak main cuci-cuci. Kami rancang deh jemurannya. Lihat, Bu, bentuk seperti ini hemat tempat. Gampang dilipat juga disimpan kalau selesai. Keren, ‘kan, Bu?”
Bu Rinrin tersenyum puas melihat anak asuhnya banyak ide. Ini memaksanya mencari inspirasi lagi untuk mengimbangi semangat anak-anaknya.
“Kapan sekolah ada internet, Kak Gong? Di rumah sinyalnya lemot jasa. Apalagi duitnya.”
Lain Imam, lain Holki, lain pula si Dafit. Tak hanya rumahnya yang terjauh, yang memaksanya pulang pergi jala, hingga membuat seorang kakak relawan tersentuh dan menghadiahinya sepeda. Dafit memang ngotot dalam hal belajar. Apa saja, kecuali hitung menghitung.
“Semangatnya kukira akan mengatasi kekurangannya,” kata guru matematika Dafit.
Dafit selalu menyelesaikan pekerjaan tuntas sebelum waktunya. Tugas prakarya kali ini sudah selesai, ia luangkan waktunya menjadi guru dari gurunya, Fariang Gembira. Bu Gem, biasa dipanggil muridnya begitu, sedang berusaha mengatasi kekesalannya. Itu lantaran ia bersama teman-temannya memerosokkan diri ke sekolah Cerdik Cendekia Ria yang tak memberinya upah seperak pun. Mana ada jaman sekarang sekolah begitu, ya. Tapi itulah kenyataannya, setidaknya hingga detik ini.
“Modal kita hanya cinta,” katanya ketika ditanya Bagong, “sepercik cinta mengatasi segenap rintangan.”
Bagong tidak percaya itu, tapi lagi-lagi alasannya dibungkam oleh kenyataan. Bahkan tetangga Bu Gem bercerita kalau Bu Gem jauh lebih sumringah. “Pasti gajinya besar, ya?”
“Biarlah Tuhan saja yang tahu, Pak Gong,” kata Bu Gem yang membuat Bagong terpaku.
Nah, hampir saban hari, Bu Gem membawa serta dua atau tiga buah hatinya ke sekolah. Entah mendapat bisikan siapa, ia ingin mengendarai motor sendiri ke sekolah karena selama ini diantarjemput ojek.
“Kayaknya enak kalau bisa motor, Pak Gong,” katanya sambil cengengesan.
“Baguslah, naik sepeda sudah bisa belum?” Kali ini motor matik Bu Rinrin yang sepertinya akan jadi korban. Bu Rinrin menanti dengan was-was.
Di sisi sebelah barat halaman itu, berdiri gedung instansi Nestapa Mulia. Buka pukul 07.00, tutup pukul 16.45 WIB. Jika ada karyawan yang kabur seperti anak Bagong yang bersekolah di TK, itu tandanya ia sudah diterima kerja di tempat lain.
Nestapa Mulia ini mengadakan kursus latihan kerja berijazah negeri karena kepala wilayahnya kecut hati melihat minimnya anak sekolah. Malu, begitulah kira-kira. Kabar burungnya, tingkat anak-anak yang bersekolah di daerah ini beda tipis dengan Irian. Tapi tak lama lagi, nampaknya Irian tak akan bisa dikejar. Tentu saja ini akan menjadi bumerang jika dia dan kelompoknya nyalon lagi periode berikutnya. Nah sekarang, di balik dua lembar jendela kaca kantor Nestapa Mulia, sepasang binar mata sedang mengamati Bu Gem.
“Buruan sini, Tum,” kata Tumini pada Tuminah.
“Ada apa sih, Tum?” sahut Tuminah tergopoh-gopoh mendekat.
“Ssstt, coba lihat, bukankah itu Bu Nikmatul Hayati?”
“Masa’?”
Mereka kuat menempelkan mukanya di kaca jendela agar bisa melihat lebih jelas. Jika dilihat dari luar, wajah mereka pasti menyeramkan. Rata seperti jin yang sedang ketakutan karena mengira dirinya seperti sepotong singkong goreng. Padahal saking takutnya anak kecil itu hingga salah baca doa. Ya Allah berkahilah makanan yang telah engkau karuniakan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka.
“Rasa-rasanya memang Bu Hayati, bekas direktur kita dulu, ya. Tapi dulu kuncirnya kan cuma satu, dan dia suka ngebut. Ingat ‘kan, Tum? Kita semua tergopoh-gopoh mengejarnya. Semua marah-marah karena tersengal-sengal. Pak Kemis malah jelas-jelas tak setuju dengan dia.”
“Tapi, Tum, aku bisa dan tahu kerja gara-gara dia, loh. Galak, memang, tapi itu kelihatannya saja. Lagian, kerja kan umumnya harus begitu. Kalau sekarang, iiihhhh… kita cuma dapat marahnya doang, untuk lebih baik, mana?”
“Benar, Tum. Dia keras mungkin juga karena tuntutan instansi kita. Tahu sendiri, instansi banyak maunya, nuntun ogah. Kan bingung kita jadinya.”
“Iya, Tum. Aku juga harus berterimakasih pada Bu Hayati. Kalau dulu tak ketemu dia, mungkin aku sudah menggendong bayi bahkan sebelum lulus. Beruntung dia ngasih semangat terus belajar agar aku bisa kuliah. Bahkan agar aku tetap bisa lanjut, dia beri aku kesempatan untuk menjadi asistennya. Wah, sekarang aku tak bisa membayangkan, bahkan terlalu takut andai kala itu tak ada dia.”
“Jadi, kamu alumni sana, ya, Tum,” kata Tuminah makin merapat ke kaca.
“Takut membayangkan gara-gara temen Bu Hayati ada yang tak setuju, Tum.”
“Kenapa?”
“Biasalah… Ada yang lahir, ada yang mati. Ada yang datang, ada yang pergi. Padahal tidak harus, ‘kan?!”
“Ohhh…”
“Jadi, kita berdua kualat kalau sekarang tak nyamperin dia, Tum?”
“Ya iya lah, ayo… Saya mau bilang terimakasih.”
Tuminah meraih lengan Tumini, lantas berbisik, “Kalau kita ke sana, nasib kita di ujung tanduk.”
“Haaah…”
Mereka sontak membekab mulutnya masing-masing. Mereka tengok kanan kiri belakang. Wajah mereka kusut, turun menyapu kaca jendela diikuti pantat yang terdorong ke belakang seperti semar. Tuminah lantas berbisik lagi ke telinga Tumini,”Jangankan kita, peserta pelatihan saja dilarang campur tangan dengan Cerdik Cendekia Ria. Benar, ‘kan, Tum?”
“Eh… eh… eh… Malam minggu kemarin, Cerdik Cendekia Ria mengadakan pertunjukkan teater, Sang Kuriang Kembali Pada Sang Bunda. Siapa coba yang tahan untuk tak menyaksikan? ‘Apalagi Malam Minggu… Awas kalau ada yang melanggar atur…”
Refleks, Tumini membekap mulut Tuminah, “Kau nih. Nanti Pak Kemis dengar.”
Tuminah manggut-manggut, mata melebar dengan bibir tertarik ke samping atas.
Di seberang, Bu Gem ditemani Dafit yang berlari-lari kecil, geyal-geyol menjaga keseimbangan tubuhnya. Itulah risiko orang tua yang baru belajar. Jadi kalau ada nenek-nenek dan kakek-kakek belajar alif ba ta, alangkah baiknya urungkan saja. Akan lebih baik menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. Rasanya sulit dibantah kalau di bawah asuhan mereka, anak-anak akan tumbuh alamiah dan besar kemungkinan menjadi manusia hebat.
Pernahkah kau lihat kakek-nenek memarahi cucunya karena nakal? Paling banter kau hanya mendapatkan sesungging senyum manisnya. Kalau toh marah, mana ada cucu yang takut lantas menjauh darinya. Coba bandingkan kalau orang tua yang memarahi anaknya. Jika nanti anak kabur karenanya, bisa-bisa tiga bulan tak pulang, tak usahlah menyalahkan kambing tetangga.
Kalau kakek-nenek, tahu betul bagaimana menjalani kehidupan yang bukan hanya baik, tapi benar. Mereka sudah kenyang dengan manis getirnya gula kehidupan. Mereka telah melakoni, tak hanya mendengarkan. Jangan sok mengguruinya. Sssttt, pernah dengar tak? Cerita anak nakal yang membantah neneknya dengan mengatakan, “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya?” dan neneknya bilang, “Jatuh juga karena pohonnya rubuh. Dasar cucu…”
Siapa yang menduga, di bawah terik awal September ini, Bu Gem pantang menyerah. Barangkali itu lantaran saat ia menjadi direktur sekolah, sering masuk di kelas Bagong yang selalu menekankan cerita anak yang belajar naik sepeda.
“Ada gak, anak yang belajar naik sepeda tak jatuh? Begitu pun kalian. Jangan takut jatuh. Jangan takut salah. Namanya juga belajar, semua pasti maklum.”
“Tum, kayaknya ibu yang mirip Bu Hayati itu belum bisa naik sepeda.”
“Jaman sekarang gicu lo...”
Bu Gem masih berkutat dengan keseimbangannya. Ia naikkan kedua kakinya di saat motor masih belum bergerak barang sejengkal pun. Sebelah kaki naik, sebelah turun. Naik, turun, naik, turun. Untungnya sang motor tetap sabar menemani sang joki. Dafit hanya tersenyum kecil karena takut tak sopan. Apalagi di depan Bu Rinrin, bibinya.
“Meski galak, Tum,” kata Tumini, “sekolah kami dulu penuh kreativitas. Rasanya tiada hari tanpa mengadakan acara. Kami semua dituntut menggali ide dan melaksanakannya. Meski gembrot begini, Tum, saat SMA dulu siapa memangnya yang jadi juara fashion show…”
Tuminah meraup wajah Tumini.
“Aku baru nyadar sekarang, Tum. Sekolah mestinya memang jadi tempat menumpahkan potensi apa yang kita miliki. Yah, kalau cuma berbaju rapi dengan dasi menjerat leher tapi miskin ide kreatif… Disuapin melulu, memangnya bayi? Masih dikalungi name tags segala. Oh my God, ampun. Kalau sekarang, makin ogah aku sekolah kok seperti karyawan pabrik saja. Penampilan sih keren, tapi banyak tapinya. Benar, ‘kan, Tum?”
“Ssstt… kalau instansi kita, kumaha?”
“Tak usah dibahas. Oh iya, bagaimana kabar Ernah?”
“Iya, itu si Ernah, bunting sedikit saja langsung ditendang. Memang ada aturannya, Tum?”
Tumini geleng kepala.
“Orang yang punya wajah dan tubuh pas-pasan, mana bisa bersaing, Tum. Nunggu ajal, iya.”
“Memang iya.”
Jemari Tuminah mengepal kuat. itu karena Ernah masih sepupunya. Gara-gara kena tendang dari PT, ia pun ditendang juga oleh suami kecelakaannya. Ia tak terima tapi tak mampu berbuat apa-apa.
“Itulah kalau kecil-kecil sudah ganjen. Menor kalau berangkat ke sekolah. Tapi lelaki memang bajingan. Kalau ketemu dia, bakal kucekik, Tum.”
Tumini lagi-lagi berucap syukur karena tiap Jum’at Bu Hayati mengisi materi Keputrian dan Keperawanan. Dari kelas itu, tak seorang pun bibir temannya yang “berdarah terjepit lawang”. Tapi kalau lihat sekolah lain, pergi ke sekolah seperti mau kondangan. Bibir merah darah, sanggul dada ke mana-mana. Bau seperti jin lewat. Bagaimana bapak guru masih bisa mengajar?
“Awaaaaassss…”
Bu Fariang Gembira nyaris menyerempet anaknya yang sedang duduk di bawah pohon salam. Beruntung karena ia duduk di tanah yang agak tinggi. Bu Rinrin langsung menggendongnya, menjauh.
Tuminah langsung membungkam mulut Tumini. “Ngawur kamu, kalau Pak Kemis dengar bagaimana?” Pak Kemis adalah wakil khusus Nestapa Mulia. Desahan nafasnya saja sudah cukup menakutkan. Apalagi jenggotnya. Kalau kumisnya justru banyak yang mencari. Laku keras.
Tahulah, kalau Pak Kemis, bagi yang suka akan memanjangkan namanya menjadi Pak Ketawa Tambah Manis. Bagi yang cinta, Pak Ketawa Amat Sangat Manis. Bagi yang tak suka, Pak Ketawa Makin Sinis. Bagi yang sangat benci, cari saja sendiri. Mungkin malah jadi hoki.
“Tum,” kata Tuminah setelah nafas Tumini mereda, “sekolahmu dulu itu, cara belajarnya sepertinya tidak salah. Lihat saja sekarang kenapa banyak gerai, toko, ataupun mal pailit dan sebagiannya malah tutup?”
“Kenapa?”
“Orang mulai suka belanja online, Tum. Jauh lebih murah, soalnya tak kena sewa, atau ongkos yang jaga. Kita juga lebih suka, ‘kan, kalau kerja suka-suka?”
“Maksudnya?”
“Tak perlu dibangunin jam weker. Tak perlu make up yang bikin gatal. Tak perlu seragam hitam-hitam. Tak perlu olah raga tiap Jum’at. Tak perlu penggajian tiap bulan di tanggal tua. Tak perlu finger print yang bikin stress. Tak perlu…”
“Kau mau bilang yang penting kerja dan tanggung jawab, dan semua itu perlu didapat dan dilatih di sekolah, gitu?”
“Benar. Pintar, kau, Tum. Kesedak buah manggis apa semalam? Jangan-jangan ada yang ngapel, ya?”
Tumini tersipu-sipu. Ia malu melihat foto keponakan laki-laki yang diajak foto gaya fall in love. Itu loh yang kakinya bukan jinjit, tapi nyepak ke belakang seperti anjing kencing.
Tuminah melanjutkan, “Ya, kita bisa pakai jins, kaos, pokoknya kasual gitu, lah. Tren anak muda sekarang.”
“Semuanya berubah, Tum. Matilah kalau kita tetap seperti ini. Kan memang begitu.”
“Hmm… Lama-lama semuanya online, ‘kan? Termasuk nanti sekolah dan wakil rakyat kita. Tak usahlah menambah gedung yang cuma habiskan uang rakyat, lebih baik untuk bangun yang lain. Kasih kita-kita, kek…”
“Ibuuuuuuu…”
Bu Rinrin dan Dafit menjerit, lantas berlari. Mia, si kecil Bu Fariang Gembira, makin meraung. Bu Fariang terduduk gemetar. Motor Bu Rinrin menghantam pohon pisang sekaligus melontarkan penunggangnya.
“Terima kasih, Pisang, terima kasih. Kalau tak ada dikau… oh… empang…” kata Dafit sambil memeluk dan menciuminya, “Kalau tak ada dikau, apalah jadinya ibu guruku.”
“Dafit!” bentak Bu Rinrin, “bukan saatnya main teater. Lekas bantu Ibu!”
Tak mau ketinggalan, Tuminah dan Tumini nyaris berlari keluar sebelum dehem Pak Kemis menghentikannya. Tak hanya Pak Kemis yang menghambur ke jendela, tapi semua staf Nestapa Mulia. Jendela yang sempit itu dipenuhi muka yang berebutan. Nampaknya mereka tak lagi menghiraukan siapa yang lemah maupun yang kuat. Tuminah dan Tumini tertindih, namun tak berani berontak.
“Kalian tak boleh ke sana,” kata Pak Kemis mengintimidasi.
“Tapi, Pak,” kata Tumini serak karena himpitan, “saya mau menolongnya. Dia itu, Bu Hayati, bekas direktur Bapak dan saya waktu kita kerja di sana?”
“Tidak, tidak. Dia itu bukan Bu Hayati. Kalau toh benar, Bapak juga tak setuju kamu ke sana.”
“Kenn… kenn… na… pa… Paaak,” tambah Tuminah.
“Dia yang bikin kita semua susah. Begitu dia masuk, tak lama belasan anak langsung keluar, ingatkah kalian? Bukannya belajar, malah jalan-jalan dan bikin acara melulu yang dikejar. Sekolah macam apa itu? Rapat tiap hari. Isi rapor seperti mengarang. Semua jadi repot, iya, ‘kan?”
“Dengar-dengar,” kata Tuminah, “setelah sekarang lebih sering bertemu Kak Bagong, dia tidak sekiller dulu, Pak.”
“Bagong?” kata Pak Kemis meringis, “siapa dia?”
“Masa’ Pak Kemis lupa, sih? Dia itu kan atasannya Bu Hayati, atasan kita-kita juga. Ingat, ‘kan, Pak?” kata Tuminah.
“Alamak… Apalagi dia, mengamuk saja masih harus diajari kau bilang atasan. Dia itu orangnya ngawur abiiisss. Tak bisa diatur apalagi mau mengatur. Tidak kebayang deh sekolah ada dia.”
Tumini menyergah, “Bukankah tradisi perform, salawatan, field trip, turun gunung, lompat kolam, mengamen di jalanan kota, juga mendoakan orang mati, semua itu dari dia? Lagi pula, dia memang tak pernah marah, Pak. Paling banter ya tak mau senyum. Itulah justru kenapa Bu Hayati pindah ke sekolah itu, ya gara-gara suka gayanya itu. Betul, ‘kan, Tum?”
“Uh, kata siapa… ngarang, kamu.”
Tumini dan Tuminah makin tertindih. Tumini mengambil nafas dalam-dalam, lalu ia katakan, “Tapi, Pak… Lihatlah Bu Hay itu, jangan-jangan kakinya luka. Kan sekolah itu tak punya apa-apa. Kasihan, Pak… kasihan…”
“Tidak,” tepis Pak Kemis, “kita sudah cukup memberi tempat ke mereka.”
“Babi saja boleh kita makan loh, Pak,” sahut Tuminah.
“Tapi, Pak, kita semua berhutang budi pada Bu Hay…” timpal Tumini.
“Tidak. Belum tentu juga itu Bu Hay…”
“Kalau kita bantu, masih tetap sesuai dengan visi misi instansi kita, ‘kan, Pak?”
“Pokoknya tidak. Bila perlu, katakan pada masyarakat kalau sekolah itu tak ada bagus-bagusnya. Komputer saja janji doang. Dihuni orang-orang berbahaya yang tak bertanggungjawab pula. Mana ada sekolah ke sana kemari kayak pengemis gitu, mana ada?”
“Bapak tahu dari mana?”
“Diam. Tahu urusan apa, kau.”
“Meskipun sekarang berkuncir tiga, tapi saya yakin kalau dia itu Bu Hay…”
Tumini dan Tuminah ngotot ingin menolong Bu Fariang Gembira yang ternyata sudah nongkrong lagi di atas motornya. Tak usah bilang goblok karena tinggal jalan kaki ke lapangan, alih-alih mendapatkan jawaban, mereka malah makin bertumpukan, mendesakkan diri hanya karena ingin memastikan siapa sebenarnya perempuan itu.
“Tum,” bisik Tuminah, “kamu percaya tidak dengan karma?”
“Sedikit…”
“Bagaimanapun juga, Bu Hay telah berjasa pada kita, Tum.”
Tumini memejamkan mata. Pojok pelupuk matanya menghangat. Mungkin dia teringat nasehat Bu Hay soal kekasih yang selalu tebar ancaman kalau dia memang cinta. Sangat jarang teman-temannya bisa lolos dari jerat setan, “mana buktinya kalau kau mencintaiku?”
“Kesempatan terlewat begitu saja, Tum. Andai betul itu Bu Hayati, mampuslah kita. Aku merasa bersalah, sungguh. Apakah gara-gara uang, kita jadi begini?”
“Loh, Kak Bagong juga kan yang menyuruh kita kerja di sini, soalnya ikut dia katanya akan menderita?”
“Ya, tapi…”
“Ehm… ehm…”
Tumpahlah tumpukan manusia itu, berhamburan, karena Bagong berdiri persis di belakang mereka. Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.
“Kok ka… ak… ak… a… kak bisa ada di sini?” kata Tumini pias.
“Justru, Kakak mau tanya itu…”
“Haaaah!??”
Hadi Surya
5 Oktober 2017