Di sela-sela waktu genting penduduk, tanpa menghiraukan kehidupan di bumi, sang mentari menyapa semesta dengan wajah kemerahan. Selasa pagi itu, Bagong sudah bersiap mengantar sang istri. Tak seperti biasanya, kali ini ia harus berangkat lebih pagi. Dari depan pintu, anak keduanya, Inyo, melambaikan tangan mengantarkan Bagong dan istrinya berangkat kerja.
“Dada Bunda…”
Pukul 07.25, anak didik Bagong menghambur ke rumah, tanda mereka tak nyaman dengan kakak kelas tirinya. Merasa tak punya hak barang segede jari pun atas ruang kelas, akhirnya Bagong memilih ruang kelas lain yang ditunggu hantu pohon mangga 15 tahun silam.
“Bersihkan dulu, ya,” kata Bagong sebelum mulai belajar. Karena menempati kelas paling ujung, anak didiknya merasa canggung. Lagi-lagi mereka mengular di balik punggung Bagong. Tontonan pagi hari yang menarik. Barang kali kalau bukan Bagong, tak seorang pun bakal berani menempati kelas itu. Para guru membiarkannya karena melihat ketakwarasan Bagong pasca dipecat. Melarang atau meladeni kegendengannya itu berarti mencari masalah. Bagong pun mulai mengajar setelah semuanya bersih.
“Jangan lupa, sebelum pulang kalian harus membersihkan sampah di balik jendela itu,” pesan Bagong pada murid-muridnya, “jangan seperti siswa sekolah lain, ya, jorok. Kakak tak suka.”
Tak ada yang paling membahagiakan ketika engkau melihat ada seseorang yang bisa meringankan bebanmu. Bu Ning Wati muncul dari balik pintu. Mungkin ia merasa kasihan pada Bagong karena telah ditinggal pergi Bu Imut, yang punya kebiasaan datang lebih pagi untuk menyapa murid-murid.
“Sekarang juga kugantikan, Kak Bagong, silahkan kalau mau beres-beres rumah. Buruan, besok aku gak bisa, loh,” kata Bu Ning.
Bagong tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Rabu memang menjadi hak Bu Ning untuk mengajari santri-santrinya. Bagong pun mohon pamit sebelum kembali mengingatkan sampah di balik jendela kelas, “Cukup tiga barang setiap kalian. Dan buang di sana, ya.”
Untung saja Bagong terbiasa mandiri semenjak merantau dan kuliah. Setelah dipecat dari pekerjaan, yang juga membuat Bagong terpaksa memecat pembantunya–diberi pesangon meski ala kadarnya, hampir segala pekerjaan rumah ia kerjakan. Ia berbagi tugas dengan sang istri. Melihat hal itu, Bagong masih nampak waras.
Membayangkan berbagai pekerjaan rumah, jika seseorang tak terbiasa melakukannya, pasti akan lebih memilih bekerja di luar. Membereskan rumah begitu melelahkan. Mulai dari cuci piring sampai bersih-bersih kamar mandi. Oleh karena itu, jika ada suami yang mentang-mentang sudah memberi nafkah, lalu tidak menghargai sang istri, maka mintalah ibunya untuk menjewer kupingnya. Hihihi. Sambil mematikan keran air di atas mesin cuci, Bagong tersenyum sendirian.
Sialnya, mesin cuci ngadat. Berbunyi memang, tapi tak mau berputar. Orang boleh bilang kalau Bagong sedang dikerjain. Mungkin kuntil tua, mungkin wewe gombel yang iseng karena suka “diomongin”, atau bisa saja kabel yang dibelitkan tikus ke rangka mesin. Ah… Bagong pikir mereka semua balas dendam, atau sekedar ingin bercanda.
“Jangan sekarang, tunggu nanti malam, ya,” bujuk Bagong entah pada yang mana.
Mesin cuci tetap ngadat. Meski memaki-maki, Bagong tetap meneruskan pekerjaannya: Cuci manual tenaga kuda tua. Bagong pun terkapar setelah semua cucian terjemur.
“Bu Ning tetap lanjutin, ya, sampai Bu Fariang Gembira datang,” tulis pesan singkat Bagong.
Selepas magrib, Bagong tetap tak bisa beristirahat. Esok hari, kawannya akan mengambil kopi jualannya. Ia pun mulai sibuk membungkus kopi per saset. Dasar tak punya jiwa jualan, ia merasa jika dibungkus kecil-kecil maka akan punya untung lebih, padahal sama saja. Bagong lupa, ketika Bu Imut tak ada jam mengajar seharusnya itu menjadi kesempatan untuk belajar ekonomi matematika darinya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Bu Imut sudah keburu cuti, dan sekarang Bagong sering terkejut karena tersetrum listrik di hadapan bungkusan kopi-kopinya.
“Dasar alat press sialan.”
Bagong mesti berhati-hati ketika meletakkan plastik bungkus kopinya di atas alat press. Selain menjengkelkan, juga memakan waktu lebih lama. Tiba-tiba ponsel Bagong bergetar, “Kang, kami merapat malam ini, ya.” Teman-teman gilanya akan datang karena pagi-pagi harus mengajar.
Maklum saja, sekolah CC alias Cerdik Cendekia memang lain daripada yang lain. Menyambut Muharam, mereka akan mengadakan santunan yatim, festival mainan tradisional anak Nusantara, dan pementasan teater. Tak usah bilang keren. Itu sudah biasa bagi kami. Hal yang keren bagi kami adalah yang biasa di sekolah luar sana, karena kami tak bisa melakukannya. Setidaknya berat hati karena pikiran kami terlanjur dipenuhi dogma “didiklah anak-anakmu untuk kehidupannya nanti”. Jadi kalau hal yang biasa-biasa saja, biarlah untuk kami yang sudah bau tanah ini.
Bagong pun ngebut membungkus kopinya. Tak menghiraukan lagi sengatan listrik yang mengejutkan itu, bahkan mulai menikmati sensasinya.
Sambil merebahkan diri, ia pun mulai mengingat teman-temannya itu. Dua hari lalu, bagaimana Monehlisa dan Des Anwar terlelap. Lukluk yang terkapar setelah mabuk bertanya, dan lanjutan obrolannya bersama Ren Matari. Bagaimana ia memperkenalkan Kang Poncowarno yang suka pergi ke gunung.
“Di sini, gunung telah mencuri hatinya, Kang,” kata Bagong memulai, “tak seperti dulu, ia kayaknya alergi melihat orang-orang mulai suka berpenampilan beda agar disebut saleh, atau sekedar ingin tampil beda atau bentuk perlawanan. Ada yang membiarkan kumis menjuntai menutup mulut, sementara jenggot tercukur licin, ada juga yang sebaliknya. Orang seperti dia, tak ada yang bisa diandalkan alias serba salah. Mau pelihara jenggot cuma tumbuh satu dua lembar. Ingin manjangin kumis, dilarang istrinya karena tak suka kalau ia mirip kaisar Ming. Daripada malah bikin ribut dan hati sesak, ke gunung lebih aman. Apalagi ia juga mulai tergila-gila dengan pitutur dan kebudayaan para leluhur.”
Matari tepekur. Bintang fajar kian meredup.
“Selain itu, dia lebih suka bertani. Di gunung, orang-orang bertani sesuai ilmu yang didapat dari para leluhurnya. Mengandalkan rasi bintang dan tak menggunakan pestisida. Bayangkan saja, mereka mengusir hama hanya dengan kidung dan tiupan seruling. Dia pilih keluar dari fakultas pertanian, hanya untuk nyusu ilmu leluhur. Salut, aku…”
Ren Matari menyimak tanpa kedip. Ia sepertinya mulai memahami bagaimana sedikit orang seperti Poncowarno itu.
Bagong melanjutkan, “Ada satu lagi, Kang, namanya Bu Rinrin. Meski di pekerjaan asal dikatakan tak ada karyawan yang dirumahkan, ia pilih mendidik anak-anak kampungnya karena tak ingin seperti suaminya.”
“Memangnya suaminya kenapa?”
“Masih suka main kayak anak-anak.”
“Benarkah?”
“Enggak, cuma canda supaya gak ngantuk. Yang jelas dia gila juga seperti sampean. Dia bilang kangen sama godaan saya.”
Mulut Matari mengembung menahan tawa.
“Ih, gak percaya?”
Mulut Matari pun akhirnya pecah dengan derai tawa tak percaya.
Bagong membiarkan Matari menikmati kegeliannya. Ia senyum-senyum sembari membayangkan bagaimana sakitnya perut karena guncangan tawa.
Setelah tawa Matari reda, Bagong pun melanjutkan, “Bu Rin baru sadar kalau godaanku saat ia salat, sejatinya adalah ujian seberapa kuat konsentrasinya.”
Matari hanya bisa menatap Bagong. Mungkin ia berkata dalam hati, kok ada yang berani-beraninya menggoda orang yang sedang beribadah. Ide konyol darimana kah gerangan?
Bagong tersenyum penuh kemenangan. Bibirnya mulai merekah, dan terus merekah. Sebelum akhirnya ia terkejut setengah mati begitu menyingkap tirai kamar tidurnya. Berbalut sorban, Ren Matari sedang membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi. Monehlisa dan Des Anwar meringkuk tanpa ambal dan selimut. Lukluk masih sibuk mengusir kuntil yang mengintil mobilnya. Jarum jam menunjukkan pukul 02.45.
Bagong menggerutu pada diri sendiri, bagaimana mungkin tertidur dengan pintu depan dibiarkan terkunci. Meski telah berusaha sekuat tenaga, ia tak mampu mengenyahkan rasa bersalahnya. Kalian harus menghormati tamu, pesan sang nabi. Hatinya makin teraduk-aduk. Ia yakin telah kualat karena memperkenalkan semua temannya dengan sebutan gila.
“Kualat aing…kualat…Gusti, pangapunteni pun nggih. Saat ini juga, aku harus menebusnya dengan menjamunya,” janjinya dalam hati.
Bagong akan menguras empangnya untuk jamuan pagi ini. Tanpa bicara, disaksikan bintang kejora yang makin redup, ia bergegas ke belakang rumah untuk menangkap lele, bawal dan mujaer. Pesta. Tiba-tiba Matari mengejar. Mon dan Des terkejut, dan tak mau ketinggalan. Bayangan mereka itu hanyalah keanehan Bagong karena kena pecat. Khawatir.
“Hei…hei…hei… Apa yang kau lakukan, Kang Gong?”
“Mandi besar!”
Hadi Surya