BARANGKALI kami hanya segelintir saja dari sekian banyak pendidik yang telah menggadaikan hidupnya demi masa depan manusia Indonesia. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang mau mengurusi kepentingan bersama. Sebab dua dasawarsa belakangan, kita nyaris tak lagi merasakan aura gotong-royong–yang adalah sah milik bangsa Nusantara. Mengatasi itu semua, kita perlu menimbang ulang laku hidup keseharian manusia zaman ini yang kian abai pada kebahagiaannya sendiri.
Semakin jauh manusia dari dirinya, maka kian jauh pula ia dari tujuan hidupnya. Kita terlampau sibuk mengenali dunia luar dan alpa mengenali dunia yang sarat kedalaman. Hidup jadi tuna makna. Sekolah yang jadi sarana belajar manusia setelah keluarganya, juga tak sanggup memenuhi hasrat keingintahuan anakanak manusia abad ini. Jika tak melulu soal biaya pendidikan yang selangit, maka soal lain adalah akumulasi nilai demi nilai. Anakanak manusia pun berhenti jadi sekadar deret ukur angka.
Bersama siswa-siswi Cerdik Cendekia, kami berusaha menciptakan tradisi belajar yang manusiawi. Menyenangkan. Mencerdaskan. Membahagiakan. Setiap Kamis tiba, kami semua boyongan menuju rumah salah seorang dari mereka. Belajar di dalam rumah atau pekarangan. Belajar-mengajar di hadapan orangtua yang telah membesarkan mereka. Belajar mengentaskan kegagapan diri dalam lingkungan sosial berbeda. Belajar membenam kebodohan dan merekamnya dalam catatan hidup pribadi. Membaca ruang kehidupan. Lalu menulisnya dengan kesadaran.
Kami hanya sedang berusaha meyakini bahwa apa saja yang sekadar terucap, akan berlalu bersama angin, dan apa pun yang tertulis, akan tetap mengabadi. Hidup adalah belajar mengenali hakikat kehadiran kita di jagat dunia, agar apa yang kita lakukan hari ini hingga nanti, dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi generasi pelanjut kita. Sudah lazim kita tahu, dari waktu ke waktu, zaman ke, zaman, hidup manusia adalah tentang pengejawantahan kasih, sayang, dan cinta semata. Pada diri, sesama, dan tuhan belaka. []
Ren Muhammad, 10 Muharram 1439 H