Sahabat, barangkali kesalahan terbesar yang dilakukan Bagong adalah mimpinya. Padepokan yang didirikan bersama teman-temannya belum berjalan seperti apa yang diimpikan. Ia berharap padepokannya itu lain daripada yang lain. Mungkin saja ia terjerat dengan pameo _jamane jaman edan nak gak edan ora keduman_. Tapi saat diwawancara demit seksi minggu lalu, ia katakan, “Kau lihat sendiri, ‘kan? Negeri kita _gemah ripah loh jinawi_. Jangankan menanam tanaman, menanam biji kejahatan pun tak perlu diurus bisa tumbuh dengan subur. Perampokan kekayaan bangsa ini yang bikin hidup kita semua sengsara, tidakkah dilakukan oleh lulusan-lulusan padepokan seperti sekarang ini? Apa yang kira-kira mereka ajarkan? Semua _edan_, maka kita harus mengajarkan sesuatu yang _edan_, mulai dari cara dan materinya. Jika tidak, maka tak usah kita bersusah payah bikin padepokan.”
Padepokan yang tanpa banyak aturan. Semakin diatur semakin tergantung. Sampai kapan menunggu kesadaran muncul? Padepokan yang memberikan nilai rapor bukan untuk menghakimi. Bila perlu, tak usah ada rapor. Kalau pun perlu, suruh para siswa isi sendiri rapor masing-masing. Padepokan yang bisa membantu siswanya menemukan jati diri bukan malah terasing dengan dirinya sendiri. Padepokan yang menyadarkan siswanya makna hidup dan kehidupan. Sayangnya lagi, mimpi Bagong tak berhenti sampai di situ. Entah apa lagi, hanya Bagong seorang yang tahu.
Jika Engkau punya saran, sebaiknya suruh ia hidup sendiri terlebih dahulu. Membawa jiwa dan hatinya untuk pergi ke alam sunyi. “Bagong, Sahabatku, alangkah baiknya dikau membawa serta keluargamu pergi berenang atau mengirup udara segar di Gunung Kapur.” Tetapi petuah semacam itu pun belum tentu cocok, namun apa salahnya mencoba. Engkau bisa saja menyarankan, “ziarah, yuk, ke tanjakan Empang!” Itu pun jangan terlalu berharap, karena seperti orang _edan_, kadang ia mau, tiba-tiba bisa bilang tidak tanpa sebab. Ditambah lagi, ia lebih suka memendam masalahnya sendiri. Ini yang sulit.
Belakangan, ia mudah kehilangan kesabaran hanya karena berulang kali saran dan perintahnya tak didengar. Didengar memang, namun tak dilaksanakan. Memangnya ia siapa, memberi upah juga tak? Ia lupa dengan pertanyaan ini. Sementara ia tetap menuntut mimpi-mimpinya terwujud.
Hiruk pikuk yang menyelimuti telah membuatnya lupa banyak hal. Terutama kesejatian manusia seperti dirinya; tak sempurna. Semakin ia berusaha membakar kayu basah, semakin ia keletihan. Nasib impiannya seolah mati segan hidup pun enggan. Sebelum segalanya jatuh menjadi sebuah utopia, mengadulah Bagong pada dewa Ndaru di kahyangan, “Ananda tak becus ngurus padepokan ini, Paduka. Ananda juga sudah bilang sama Kanjeng Gusti.” Bagong tersuruk pasrah.
Gara-gara jeritan itu, gegerlah dunia kahyangan. “Moyo, siapkan kereta kencana!”
“Untuk apa, Paduka?” kata dewa Moyo.
“Tak usah tanya, segera siapkan!”
“Iya…iya… Tapi kuda sembraninya lagi digembalakan.”
Dewa Ndaru memerah. Dewa Moyo tahu jika sudah marah dewa Ndaru bisa merusak apa saja tanpa bisa dihentikan. Buru-buru Dewa Moyo berucap, “Biarlah kami saja yang datang, Paduka. Tak perlu nunggu lagi kuda sembrani, kami tinggal menjatuhkan diri persis di padepokan Emprit Jingga milik Bagong itu.”
“Eitsss… Bukan milik Bagong, ingat ini. Kamu sendiri yang bilang, ‘kan?”
“Kapan, Paduka?”
Dewa Ndaru menepuk jidatnya tak percaya melihat dewa Moyo mudah lupa. “Kenapa rumah Bagong ada di pinggir padepokan? Bukankah Kau yang melarang karena itu bukan hak milik Bagong?”
“Tapi, bukahkah Bagong lebih banyak berkorban demi padepokan itu daripada yang lain termasuk saya?”
“Sekarang kau ngomong begitu, dasar…”
“Maaf, punten, Paduka, iya…iya… Sekarang juga saya pergi. Kalau Paduka yang menjatuhkan diri, tak elok, saru. Nanti apa kata murid-murid di sana?”
Seketika wajah dewa Ndaru berubah kembali. “Jatuhkan dirimu se…ka…”
Dewa Moyo sudah lenyap dengan pantat mengapung, bibir cemberut jidat berkerut karena masih memikirkan benarkah dirinya yang melarang Bagong bikin gubuk di area padepokan. “Kasihan, Bagong. Mungkin karena sudah beristri dan beranak, ia tak ingin hidup ngontrak lagi. Kalau bukan karena dia, Paduka juga tak mungkin punya program pencerdasan manusia yang terhanyut banjir bandang kebodohan dan kemiskinan di sana. Ah, rasanya itu bukan ide saya karena Bagong memang pantas mendapatkannya. Bahkan andai dia mau bangun gubuk sampai tingkat 13 ke perut bumi, memangnya kenapa?! Bagong jugalah yang mengupayakan seluruh perangkat padepokan berikut pengurus dan santrinya kecuali satu saja, dolar Singaparna. Bahkan setahu saya, semua aktivitas di padepokan itu juga karena usulannya yang lengkap dengan rinciannya. Bagong pula yang… Aaarrrghhhh!”
Dunia terasa gelap. Tak disangka, kepala Dewa Moyo sudah menghujam ke perut bumi tepat di pusat padepokan yang anehnya dipenuhi dengan tanaman pisang. Beruntung karena pantatnya tersangkut pohon pisang yang baru saja dipanen murid-murid Bagong. Bersusah payah ia mengeluarkan dirinya tapi tak mampu. Antara sadar dan tidak, ia sudah terlentang di teras rumah Bagong dengan wajah sedikit reyot.
“Maaf kanjeng Dewa, itu tadi kelakuan murid-murid saya. Katanya mereka tak tahu bagaimana menghadapi dewa yang pingsan. Disiram air dari koya, kolam, mineral beragam merk, sampai air accu, Kanjeng dewa tak sadar juga. Dijampi-jampi dukun muda, jejaka, perawan, hingga nini dan aki-aki, tak siuman juga. Kami semua takut terjadi apa-apa, usulan santri supaya dinjak-injak saja dari ujung kaki sampai wajah tak bisa hamba tolak. Ampun Kanjeng…ampun…”
“Jadi kalian ramai-ramai nginjak mukaku juga?”
Hanya hembusan angin yang leluasa bernyanyi malam itu. Hawa dingin mulai menusuk-nusuk tulang. Tak lama, seekor katak mengeluarkan suaranya begitu rintik hujan mulai jatuh. Panggilan itu disambut katak yang lain, yang lain dan yang lain. Sajian orkestra kodok bernyanyi mengawali pesan Dewa Moyo di depan semua pengurus padepokan Emprit Jingga.
“Kalian semua tahu, Paduka marah melihat kerja kalian. Kalau kalian tak serius mengurus padepokan ini, lebih baik kami pindah ke tempat lain. Bagong…”
Bagong menatap tak mengerti.
“Mulai tahun ajaran baru, tanpa mengurangi rasa hormat atas jerih payahmu, juga bukan bermaksud mengurangi peran dirimu, kau punya tugas baru.”
Bagong masih menatap tak mengerti.
“Kau akan kami buatkan taman bermain, mulai dari bayi hingga aki-nini. Peranmu bisa lebih luas ketimbang hanya mengasuh santri madrasah maupun aliyah. Lewat tangan dinginmu, yakinlah kalau bayi hingga balita akan tumbuh menjadi manusia-manusia hebat. Lewat tangan lembutmu, yakinlah bahwa aki-aki dan nini-nini bisa meninggalkan kalian semua dengan senyum yang mengembang. Paham, Gong?”
Bagong semakin tak paham. Wajahnya tampak kebingungan.
“Bahkan kalau perlu tanah dan bangunan yang tak lagi seperti gubuk-gubuk seperti ini, kami dengan suka hati akan membantumu seribu persen. Yakinlah, kau akan lebih berdaya guna di sana.”
Bagong manggut-manggut. Tangannya terasa menguat mencengkeram lengan kursi. Gerahamnya tampak sedikit menonjol.
“Pokoknya kita akan hidupkan kembali tamabalansi yang belasan tahun lalu mati itu…”
“Apa tamabalansi itu, Kanjeng Dewa?” kata Petruk.
“Wah, betul memang kalau pengurus di sini harus diurus lagi, baru saja ngomong sudah lupa. Taman maen bayi hingga lansia…”
“Oooh…”
“Betul, Gong, bikin di samping taman makam anak-anak saja yang di depan sana itu. Kan masih luas tanahnya,” kata Petruk.
Bagong menggeram, Petruk tak dengar. Dewa Moyo terus menjelaskan bagaimana peluang taman baru Bagong nanti. Ia bukan saja bisa menyalurkan _style_ dan _passion_nya, bahkan menemukan dirinya sendiri. Singkat kata, Bagong pasti bahagia luar dalam. Namun entah sejak kapan, seperti kebiasaan yang sulit dihilangkan, Bagong malah asyik mengembara ke alam pikirannya sendiri tanpa peduli Dewa Moyo yang masih bersemangat berorasi.
“Gimana, Gong?”
“Kita lihat saja nanti, Kanjeng.”
25 September 2017
Hadi Surya