Petruk Oh Petruk

 

 

Andai kaki Bagong tak tersangkut jeruji balkon lantai atas itu, dan kesigapan Petruk menarik sepatunya, barangkali tak akan ada kisah yang bisa Sahabat nikmati.

Berhari-hari Bagong mendiamkan Petruk lantaran tahu niat busuknya. Ia tak menyangka bahwa hanya istri tercintanya yang bisa diharapkan. Mengingat upaya bunuh dirinya itu, Bagong begitu menyesal, merasa terkutuk jika ternyata anak-anaknya nanti hidup terlantar.

“Tapi itu tak bakal terjadi, bukankah istriku sudah berjanji bahkan sebelum duduk di pelaminan, tak akan membiarkan buah hati mereka hidup tanpa kasih sayang? Tapi memang Petruk sialan. Tapi kalau waktu itu tak ada dia?” Bagong merasa bersalah untuk kali kedua. Bahkan sekarang ia berharap hidung Petruk _nongol_, agar bisa _ngopi_ dan _ngudud_ berdua. Ah, Pentruk…

Suara burung kuntul putih terdengar di bawah semak pinggir empang. Mungkin ia sedang bernyanyi di hadapan kedua anaknya dan mengisahkan betapa hidup begitu indah.

“Apa pun yang terjadi, sebisa mungkin gigitlah erat-erat tali persahabatan. Tak terkecuali manusia yang selalu ingin memburumu,” tutur sang induk. “Agustus mendatang, kalian akan seperti kami,” lanjut sang induk. Silih berganti mereka bercerita sampai anak-anak burung tertidur.

Kesenyapan kembali menyergap Bagong.

“Gong…”

Bagong terperanjat, tak percaya melihat Petruk datang. Kegersangan bulan Agustus yang belakangan ini terasa di hatinya, berubah seketika. Begitu sejuk dan meneduhkan.

“Seperti hidungmu, panjang umur, Kau, Truk,” kata Bagong seraya bangun menyambut Petruk. Ia tersedu-sedu di dada Petruk.

“Hai…hai…hai… Ada apa ini, Gong? Sudah tahu badan bulat gitu, kalau kita jatuh berdua gimana? Siapa yang bakal merawat kecebong-kecebong kita?”

“Kau benar, aku nyaris khilaf kemarin,” kata Bagong sendu.

“Sudah, lupakanlah. Rupanya, kau suami dan ayah yang hebat.”

Bagong menunduk lesu. Ia masih terngiang kejadian tadi pagi. Siapa sangka, kakak tingkatnya itu bisa begitu muntab. Ia belum pernah menyaksikan itu sebelumnya. Orang yang dikenal begitu lemah, bisa berubah menjadi begitu garang. Bagong merasakan bumi yang dipijaknya pun sampai bergetar. Oh, ini kali kedua. Bagong pernah menyaksikan bagaimana kakaknya itu membuat asisten TK _gemetaran_. Tapi itu wajar, karena begitulah perempuan. Mendengar mercon banting saja bisa jantung lepas. Tapi tadi pagi, sungguh beda. Bagong coba membuktikan kalau cacing pun akan menggeliat jika diinjak.

“Gong… mau kopi?” Jika melihat Bagong diam seperti itu, Petruk sudah tahu pasti ada yang mau diceritakan oleh Bagong.

Bagong hanya mengangguk, sementara Petruk langsung bergegas. Ia tak mau berlama-lama, khawatir Bagong kumat dan nekat lagi. Biasanya ia seduh kopi dan diaduk 33 kali dengan bacaan selawat, namun kali ini hanya tiga kali dengan tiupan jampi.

“Cepat sekali, Truk,” kata Bagong yang hanya dibalas senyum geli Petruk.

Berdua, mereka memandang kegelapan semak kirai yang ditingkahi kepakan jangkrik daun.

“Kau sudah dengar kejadian tadi pagi?” Tanya Bagong, memecah kesunyian.

“Belum.”

“Maukah kau jaga istri dan anak-anakku?”

“Kau bicara apa sih, Gong? Hanya istri atau bersamaan? Ayolah cerita, tak usah kau ngelantur begitu…”

Desah nafas Bagong terdengar begitu dalam. “Kakak kita marah. Kau tahu Tri ‘kan?”

“Tri Solo?”

Bagong mengangguk. “Aku tak tahu jalan pikirannya. Gara-gara aula, semua kena _damprat_. Semua diam. Kukira kakak hanya berani begitu di depan asisten TK, rupanya…”

“Apa masalahnya?”

“Rupanya pagi-pagi sekali, sepulang mengantar istrinya, ia datang ke kantor dan bilang kalau aula mau dipakai.”

“Lah, sudah tahu tidak boleh, kok masih ngotot juga?” tukas Petruk.

“Ih, kau nih, tak ingat apa semenjak dipecat otaknya agak miring sedikit.”

Petruk hanya bisa mlongo.

“Begitu mau masuk, masih ada kakak-kakak kelas yang merapikan bangku-bangku di aula. Rupanya mau berbagi tempat. Padahal ada sisa kelas yang kosong. Kakak langsung bergegas menuju kantor, mencari Tri. ‘Kalau kelas kurang lebar, jebol saja dinding itu. Saya tanggung jawab,’ Kakak menyela rapat yang tengah berlangsung. Sementara yang sedang rapat pagi, sontak bergetar tak menduga. ‘Kami mau pake aula untuk latihan teater, nyesuain panggung. Mau tampil muharam besok. Kalau kau mau pakai juga, gimana kelasmu bisa konsen? Apa sih susahnya berbagi sedikit? Hai, kau juga bilang Matari berbahaya, tuh dia ada di sana. Berani ngadu, gak? Apa perlu kupanggil?’ Kakak bertanya, dan mereka hanya diam. Kemudian Tri menjawab kalau sesungguhnya bukan dia yang bilang, tapi orang-orang yang duduk nun jauh di luar sana. Sebenarnya aku juga ingin tahu siapa mereka, tapi Tri tak mau ngasih tahu. ‘Dia banyak nulis, lawan dong pakai tulisan, tunjukkan mana letak berbahayanya. Gini nih jadinya kalau pada asal jeplak, tapi _crosscek_ tak mau. Harusnya kalian malu bilang pernah makan bangku sekolah apalagi kuliah. Bersyukur saya dikeluarkan dari tempat kerja, karena banyak orang seperti ini. Beresnya hanya sejengkal dari hidung _big bos_.’.”

“Adegan yang menarik,” pikir Petruk termangu.

“Kakak juga mengingatkan tantangannya. Ia akan angkat kaki dengan senang hati jika ada keputusan di depan lurah, tokoh masyarakat, perwakilan orang tua murid, dan donatur. ‘Kapan? Sudah ke lurah, belum?’ Kakak bertanya, dan kami semua gemetaran. Gayung di kamar mandi bergemeletak. Sepertinya wewe gombel di kelas itu jadi supporternya.”

Petruk coba membayangkan kondisi psikologi kakak tingkat seperguruannya itu. Dipecat tanpa syarat dengan anak, istri dan handai tolan yang mau tak mau menyaksikan jerih payahnya seakan lenyap di pelupuk matanya. Mungkin akan berbeda ceritanya jika mereka tak ada di situ. Petruk pun tertunduk dalam. Bagong pun terdiam.

Kwraaak…kwraaaak… Burung hantu melintas di atas mereka.

“Gong…”

“Ya…”

“Ingat ceritamu yang lalu?”

“Apa?”

“Kakak bilang tak mau lagi diteror pakai telpon, sms, WA, dan semacamnya,” kata Petruk, “terus, gimana lanjutannya?”

“Ya, dia hanya mau duduk bareng di aula atau masjid. Kayaknya sih itu tantangan. Dia bilang tak akan bawa siapa-siapa kecuali istri dan anak-anaknya. Dia ingin mereka jadi saksi bahwa pada akhirnya ia akan bertarung dengan orang yang adalah gurunya sendiri, yang selama ini membantunya. Aku tak bisa membayangkan jika itu terjadi…”

“Begitulah barangkali kondisi jiwa seseorang yang kena pecat,” sahut Petruk.

“Ini bukan masalah guru dan bukan guru, Truk, tapi kezaliman… Kakak punya hak-hak ketenagapengangguran. Tahu ‘kan, kalau pengangguran bisa jadi beban negara?” Lagi dan lagi Bagong menyulut rokoknya. “Tak cuma itu, Truk, Kakak ngomong waktu itu…”

“Apa?”

“Dia juga minta pertemuan itu direkam. ‘Supaya anak-anakku nanti tahu siapa dan bagaimana ayahnya. Supaya anak-anakku tahu di mana sahabat-sahabat ayahnya berpihak…”

“Untung saja dia tak ngomong, ‘Yang makili bapak lo nembungin anak pak kiai sana siapa…hah?’ apakah tak nambah runyam.”

Bagong mendesah. Petruk menggigil. Angin bertiup lemah. Burung hantu ikut menyimak dengan sorot mata kucingnya yang membesar.

“Truk…”

“Apa?”

“Kita masih bisa tertawa…”

Sepi.

“Truk…”

“Apa?”

“Kita masih dapat gaji…”

Senyap.

“Truk…”

“Apa?”

“Andai kita yang jadi Kakak…?”

Sunyi.

“Truk…”

“Apa?”

“Bagaimana perasaan istri Kakak?”

Lengang.

“Truk…”

“Apa?”

“Bagaimana anak-anak Kakak kalau besar nanti dan melihat kita?”

Gigi bergemeletak.

“Truk…”

“Truk…”

“Pet… Pet… Petruuuuuk…”

 

19, September 2017

Hadi Surya