Bagong yakin dirinya kena bendu alias kualat. Itu karena ia telah memperkenalkan teman-teman yang mengajar di sini dengan sebutan gila. Sore itu, ia naik pohon kelapa di samping mushola, dan dengan lantang mengatakan, “Sodara-sodara sekalian, dengan bangga saya perkenalkan teman-teman saya yang gila, lihatlah! Yang sedang menari lemah gemulai, Monehlisa. Yang berkacak pinggang seperti Arya Penangsang baca surat tantangan Mas Karebet, Desi Anwar. Yang duduk tepekur sambil membawa keris bambu warisan muridnya, Ren Matari. Sedangkan yang gembol itu, Lulukman. Badannya besar itu karena sering puasa patigeni dan hanya tidur seperempat jam sehari. Mereka datang dari negeri antah berantah hanya untuk anak-anak kita. Untuk anak-anak kita! tepuk semangat!!??”
Tak ada seorang pun yang datang sore itu tanpa bersorak. Tangan-tangan mereka bertepuk tanpa henti seperti menggugah semangat Tommy Sugiharto berhadapan dengan Lee Chong Wei. Sebagian malah bersuit-suit seperti duda melihat perawan yang pulang kerja di pabrik bersepeda ramai-ramai. Malah ada juga yang mengembik-embik seperti bandot dalam kandang yang melihat sekawanan induk domba berlarian.
Ada yang mengherankan tentu saja, yaitu bagaimana taktik dan teknik Bagong hingga mampu mengumpulkan para orang tua murid dan anak-anaknya untuk datang ke lapangan hijau yang sudah dipasang garis oleh saudagar itu. Maklum, jika ada tanah bergaris itu, tandanya baru saja terjual.
Jika Sahabat tak punya banyak uang, jangan berharap mimpi hidup di sini suatu saat nanti. Kecuali sisa secuil lahan di tengah-tengah lingkaran tanah para juragan itu. Murah memang, tapi perlu helikopter agar bisa mendarat.
Rupanya Bagong memang dicintai masyarakat. Sulit menerangkan bagaimana orang asing bisa dicintai. Sayangnya Bagong tidak pernah mau bercerita. Bagong telah melakukan hal yang salah, dan tragisnya ia tak sadar telah melakukan kesalahan. Terbukti begitu ia melorot dari pohon kelapa tanpa peduli, celana belakangnya robek melewati pinggang. Ia tersenyum bangga. Masyarakat semakin terpingkal-pingkal, sementara Bagong semakin merasa yakin telah memperkenalkan teman-temannya dengan sukses.
“Terimakasih, terimakasih,” kata Bagong berulang-ulang sambil membungkukkan diri.
Ibu-ibu, para gadis dan anak-anak perempuan langsung balik kanan melarikan diri.
“Jangan kapok ya!” Teriak Bagong kegirangan meski merasa bukan sebagai tuan rumah yang baik. Betapa tidak, ia tak punya seperak pun untuk menjamu mereka.
Suasana kembali sepi. Magrib akan menjelang. Bagong mempersilahkan ketiga tamunya ke rumah. Bagong kaget begitu menawari mereka mandi.
“Tengah malam lebih bagus, Kang Gong, kecuali yang terkena reumatik. Tapi tak ada salahnya dicoba, bukankah tubuh ini juga cerdas?” sahut Matari.
Bagong bingung dari mana asal-usul teori itu.
“Ini sudah bukan teori lagi. Tiap hari kami begitu. Dan terbukti.”
Bagong langsung tersenyum lebar. Lebar sekali. “Bodoh amat dengan tetangga. Mulai sekarang, mandiku tengah malam setelah berjud-jud lantas sujud, sakit pinggang pun hilang,” kata Bagong di balik senyum mungilnya.
Magrib telah usai. “Kita ngopi di atas saja,” ajak Bagong, “sayang kalau padang bulan begini dilewatkan begitu saja.”
Sambil menunggu tamunya yang dibiarkan masak sendiri, Bagong menunjukkan bahan-bahan masakan. Tak ada apapun kecuali tahu tempe dan cabe.
“Teri dan ikan asin, semuanya berformalin, dari pada bikin sakit?” Bagong sebenarnya hanya mencari-cari alasan supaya tak terlalu malu. “Lele ada, tp di sepiteng sana. Kalau mau bawal atau mujaer pancing sendiri, ya.”
Sesaat kemudian, Bagong rupanya merasa perlu menanyakan alasan mereka datang, “mewakili sohibul hajat bo imrir, bo farkhaneng, kang ponco, saya boleh tanya sedikit?”
“Banyak juga tak dilarang, Kang Gong,” sahut Monehlisa.
“Kok mau-maunya kalian ini. Siapa pun ogah, ngurusi anak orang, tak dibayar pula. Salah sedikit saja, bisa kena marah ayahnya. Gak salah ‘kan kalau saya bilang tadi kalian itu manusia-manusia edan?”
“Salah sih enggak, Kang Gong, cuma…boleh gak kalau kami nginap lagi?” sahut Desi Anwar, “suananya enak, meneduhkan.”
“Tentu saja. Kapan pun dan di mana pun. Kecuali kamar saya,” sahut Bagong ngikik. “Kalau mau apa-apa juga ambil sendiri, kecuali ikan di belakang dan depan situ. Bayar dulu baru pancing.”
“Ooo…”
“Teman yang lain kan juga edan, Kang Gong,” sahut Lukluk, “Bu imut, ditawari jadi kepala sekolah, ditinggalin. Hamil tua susah jalan, merangkak-rangkak pula. Bu Fariang Gembira, digelayuti dua bayi kembarnya masih tak mengeluh. Bahkan bilang kalau setetes cinta bisa mengatasi banyak hal. Bu Ning Wati, apa-apa tinggal panggil santri, cuek aja diomongin tetangga gara-gara menelantarkan calon suaminya, sampai dibela-belain putus pulsa. Kami malu lah, Kang.”
Mon dan Des saling pandang nyaris melotot. Mereka tahu dan bisa saling paham tanpa kata-kata. “Sejak kapan Lukluk berubah pintar ngomong begitu ya. Rasanya selama ini dia seperti sakit gigi.”
“Kalau saya, terus terang gak tahu, Kang Gong,” sahut Matari, “kami datang dan kami suka. Itu pun tak terlalu tepat.”
“Nah, kalau kami berdua ingin bawa pulang kumbang kampung, Kang. Belum terlalu kena polusi kota,” kata Mon yang segera disambut anggukan Des. Mereka berdua langsung menyanyikan lagu dangdut kumbang-kumbang di bawah rembulan.
“Kalau Kang Bagong sendiri?” kata Lukluk.
Tak langsung menjawab, Bagong hanya menghela napas panjang. Di bawah cahaya rembulan, ia tampak tersenyum pahit. Ia membiarkan suara katak yang memanggil-manggil hujan. Semuanya menanti. Semuanya saling pandang.
“Kalau keberatan, ya tak usah dijawab, Kang,” kata Matari.
“Hoaaaahhhhhhh,” Bagong meloncat sambil melepaskan sumbat dari dalam tenggorokannya. Ia tertawa ngakak sambil mendesis. Manusia, Oh manusia. “Kang…Kang…” Sambil tersenyum yang tak lagi sinis ia berkata, “Aku dipecat dari kerjaan.”
“Dipecat? Dapat pesangon besar, besok traktir, ya.”
“Kudirikan bersama teman-teman, dan kami pisah jalan.”
“Tunggu…tunggu… Kang Bagong ikut mendirikan, mana mungkin dipecat?”
“Suami istri yang hidup puluhan tahun saja bisa pisah.”
“Kalau gitu, dapat harta gono-gini.”
Bagong tertawa.
Mon dan Des lagi-lagi bisa berbicara tanpa kata, “Apa karena dipecat, Kang Bagong perlu panjat kelapa segala, melorot, pantat ke mana-mana, tapi tak sadar? Ssstt… Jangan mengandai-andai, guru kita melarang. Oh ya, ya…”
Lukluk sudah tak lagi terdengar nafasnya. Ia bertanya hanya untuk mengantarkan dirinya tidur. Ia memang tipikal insomnia kecuali terkena kopi. Malam ini ia lupa dengan kebiasaannya itu. Mestinya minum air putih yang banyak kalau ingin ikut begadang.
Bulan mengejar fajar. Matari masih menekuri buku Di Bawah Bendera Revolusi. Monehlisa dan Desi Anwar dengan tulus ikhlas memberikan darah dari pipi-pipinya untuk nyamuk-nyamuk liar.
“Kami bersyukur bisa berbagi dengan kalian. Kalian hanya hidup tak kurang dari dua minggu, sementara kami hingga sekarang belum melakukan apa pun. Sampaikan maafku, ya,” pesannya dalam mimpi mereka.
Bagong masih tetap berdiri. Mulutnya komat-kamit tiada henti. Lantas, apa yang dilakukan Bagong hingga membuat dirinya kualat?
Minggu, 17 September 2017
Hadi Surya