Senja keemasan mulai menampakkan dirinya di langit Desa Babakan Ciseeng. Cahayanya menyelimuti seluruh penjuru desa. Tentram, asri, dan ramah. Mungkin tiga kata itu yang menggambarkan perasaan saya terhadap desa tempat tinggal keluarga Sekolah Cerdik Cendekia. Begitu menentramkan, hingga saya jatuh hati.
Sore itu sebelum senja, saya baru saja selesai berlatih Teater dengan murid-murid Cerdik Cendekia untuk persiapan pentas 1 Muharram nanti. Di peringatan hari besar Islam tersebut, mereka ingin menampilkan sebuah pertunjukkan sederhana. Sekadar untuk dinikmati oleh warga sekitar ataupun keluarga.
Meski suasana latihan tak pernah benar-benar kondusif, saya tetap berusaha melanjutkan proses latihan. Anak-anak itu, memang suka sekali guyon dan. Kalau sudah begitu, para murid perempuan hanya bisa diam memerhatikan dengan tatapan jengkel. Mereka tahu betul teman-teman laki-lakinya sulit diatur. Meskipun begitu, bagi saya itu semua adalah hal yang wajar-wajar saja. Kalaupun saya harus menegur mereka, pasti teguran itu berdasarkan cinta, karena begitulah guru saya mengajarkan. Melakukan apapun, atas dasar cinta.
Kemudian, pada merekalah cinta saya jatuh untuk kedua kalinya. Pada binar mata, tutur santun, tawa renyah hingga ketulusan hati mereka–semua memancarkan cinta. Saya sadar ada bagian dalam diri ini yang sejatinya terasa, dan tebal sekali untuk diruntuhkan. Namun, bersama mereka melewati waktu bersama. Bermain atau sekadar duduk bercerita. Rasanya waktu tak pernah terbuang sia-sia. Sekonyong-konyong, hati ini terasa seperti ditumbuhi bunga-bunga, bersamaan dengan kupu-kupu yang hidup di dalamnya.
Bicara perihal cinta, ada percakapan menarik yang saya dengar antara Haidar dan Ibunya. Petang itu, istri Kang Hadi (pendiri sekolah Cendekia) dan anak-anaknya tengah bersantai sembari menonton kartun Upin-Ipin di televisi. Husein Si Bungsu, sedang rebah di pangkuan ibunya, bersama dengan Vino, kakak keduanya. Kemudian terjadilah percakapan antara Haidar Si Sulung dan Ibunya.
“Bun, kalau hewan mati gimana? Apakah sama dengan manusia?” Tanya Haidar, memulai percakapan.
“Hewan ketika mati tidak akan di Hisab.”
“Kenapa nggak di Hisab?”
“Karena mereka bukan makhluk paling sempurna seperti kita.”
“Kenapa kita makhluk yang paling sempurna?” Haidar bertanya dengan polosnya.
“Karena Allah yang mau.”
“Kenapa Allah mau?”
“Karena Allah ingin dicintai.”
“Kenapa Allah ingin dicintai?” Tanya Haidar, makin penasaran.
“Karena Dia-lah yang Maha Cinta.”
Saya yang saat itu sedang mencuci piring di dapur rumah Kang Hadi seketika tersenyum bahagia mendengarnya. Cara sang Ibu menjawab pertanyaan anaknya tersebut, membuat saya sadar bahwa seperti itulah seharusnya seorang Ibu memberikan pengertian mengenai hubungan Cinta sang Pencipta dan Makhkuknya.
Percakapan tersebut juga membuat saya sadar, keluarga ini membimbing anak-anaknya tumbuh dengan Cinta. Maka tak heran jika Cinta tersebut dapat dirasakan di mana-mana. Atas dasar Cinta yang dimiliki mereka semua, maka saya namakan sekolah ini sebagai “Sekolah Para Pecinta”.
Desy Oktaviani