Namaku Cendcen

 

Aku adalah sebuah kata. Jika engkau membubuhiku dengan ‘wan’, aku bisa dengan mudah menjadi begitu sombong. Kalau engkau mendahuluiku dengan satu kata benda, orang bisa menganggapku keren. Kukatakan ‘menganggap’ karena engkau harus membuktikan terlebih dulu kekerenannya.

Seperti ketika aku pulang haji. Engkau bisa menganggapku keren karena sorbanku. Dengan semangat kau raih tanganku, atau apa pun itu, untuk kau cium seolah mengambil berkahku sembari berucap, “Tuhan, janganlah Kau buat hidupku sekarat karena melarat.”

Jangan sampai di kemudian hari, kau bersumpah serapah hanya karena melihatku beristri lagi dengan nenek janda di ujung desa.

“Kenapa cari yang begitu, dasar goblok, kenapa matamu gak kau periksakan dulu ke dokter anak?”

Jadi, sebisa mungkin jangan diam dan biarkan dirimu dalam keraguan. Kalau kau yakin, siapakah gerangan yang untung? Ah, Sahabat, rupanya kau masih belum bisa menebakku. Baiklah. Aku berada di wilayah Bogor. Karena aku jarang keluar, daerah mana saja yang membatasiku tak bisa kujelaskan secara detail. Tapi jika kau kirim sesuatu untukku, rasanya tak mungkin petugas JNE tersesat.

Terbukti, di malam gelap gulita dengan lampu tembak motornya yang riep-riep kurang tenaga. Bahkan di bawah guyuran hujan dan banyak saksi mata, barangku sampai. Tak salah jika kau pun menyebutnya, uang sudah jadi malaikat. Tapi jangan kau bilang keras-keras, cukup akulah pendengarnya.

“Kalau teriak?”

“Ya jelas gak waras, bahlul. Hai, masih gak tahu siapakah aku? Gak? Sudah jelas gitu kok masih…”

“Jelas apanya, tambah _mumet_ iya…”

“Oke… Oke… Aku lahir belasan tahun yang lalu. Aku juga telah melahirkan ratusan anak yang sekarang sudah ke mana-mana. Ada yang bekerja di pabrik cendol. Ada yang belajar bikin kursi roda. Ada yang jadi direktur koperasi lele jumbo… Masih gak tahu?”

“Mana ada umurmu cuma segitu melahirkan se…”

Ente  jangan  bahlul, pakai sedikit itu otakmu. Sekali lagi ya?”

“Terserah, yang penting nanti ngopi.”

“Aku pun pandai menaruh dan mengotak-atik sesuatu. Baju bisa kujadikan dasi. Kursi bisa kujadikan bantal. Pengikut bisa kujadikan pemimpin. Direktur bisa dibalik jadi kondektur.”

“Gak masuk akal.”

“Kelas bisa kujadikan dapur. Kantor bisa kujadikan aula. Bahkan sekolah bisa kujadikan perusahaan. Jadi siap…”

“Gak masuk akal. Asli gak masuk akal.”

“Kenyataan bukan berarti gak masuk akal, ‘kan? Kasunyatan juga tak haram masuk akal, ‘kan? Siapa yang percaya coba, kalau kau suka sama dia, apa modalmu?”

“Gong, jangan becanda, serius aku gak tahu.”

Bagong pun meraba-raba jidatnya, “Maaf Sobat, aku pun gak tahu.”

“Bagong gembluuuuuung!!!???”

 

Senin, 11 September 2017

Hadi Surya