Orang Gila

Hanya karena kuberitahu episode berikutnya, lantas bukan berarti itu sebuah janji yang harus kutepati, Sahabat. Itu memang bukan sebuah janji, dan lebih baik aku tak berjanji. Aku ingin menulis bukan karena janji tersebut–barangkali karena suara hujan yang sudah hampir sebulan tak kudengar. Aku ingin berbagi denganmu, tentang pertemuanku dengan “orang gila”.

Aku tertarik mengajar di sekolah yang jauh dari keramaian itu, lantaran kabar burung yang kudapat lewat merpati pos bahwa sekolah itu tak seperti pada umumnya. Mungkin kata asing lebih tepat untuk sekolah itu, karena aku juga sedang _kesesengsem_ dengan kabar _doif_ bahwa Islam datang dari keterasingan dan akan kembali asing.

Bagaimana tidak dianggap sekolah yang asing, _wong_ seragam saja tak perlu, apalagi baju olahoraga. Anak kampung rupanya tak berolahraga menggunakan peluit. Cemeti dan mengejar kambing dengan bertelanjang kaki, jauh lebih _cespleng_. Tak percaya? Buktikan saja sendiri.

Sekolah itu bahkan di luar jangkauan nalarku. Jadi tak usah kau bertanya tentang aturan dan tata tertib belajar yang biasanya dicetak dan dipamerkan di depan kantor guru. Tak akan kau temukan.

Lah, sampai mana dan mau ke mana ini, kok pikiranku macet, apa karena ada unsur sentimen dari kuntil berpinak yang merasuk dalam tetesan hujan, tertiup angin, lantas berhembus ke sela jendela kamarku? Oh ya, sepertinya aku langsung jatuh cinta.

Sahabat, selama ini aku mengajar di sebuah lembaga yang super ketat aturan tapi …. Aku benar-benar ingin tahu sosok sekolah itu seperti apa. Singkat cerita, bertemulah aku dengan sosok itu. Benar, benar … deh. Disebut malaikat, tentu bukan. Disebut tuyul, juga bukan, karena sepertinya dia tak terlalu membutuhkan uang.

Dia agak mirip dengan tengkorak karena tak gemuk. Mungkin disebut mirip genderuwo agak tepat, karena dia tak peduli dengan penampilan dan kejahilannya. Ya pantas saja kalau sekolahnya pun begitu.

Kami sering berdebat hanya karena nilai rapor anak-anak. “Harus deskriptif, dong. Laporan ke orang tua harus detail”, kataku. Dia hanya sedikit bicara dan mengangguk setuju. Tapi aku yakin, dalam hati dia berkata bahwa anak manusia diciptakan dalam bentuk terbaiknya, pun perangkat tubuhnya.

Kami juga berdebat karena syarat calon murid-muridku yang dari keluarga tak mampu harus dipastikan dengan cara berkunjung ke rumah mereka. Titik-titik dalam formulir itu harus terisi supaya ada bahan menjawab, meski tak ditanya.

Aku tahu dia enggan berjalan, karena aku bisa merasakannya. Jika aku survei seperti tukang kredit, maka dia seperti anak kecil yang diajak bermain kelereng oleh temannya–lupa dengan pesan ibunya untuk membelikan rokok ayahnya.

Aku sering berdebat dengan “genderuwo” itu, dan aku selalu keluar sebagai pemenang. Maaf, bukan selalu, tapi sering. Tahu bedanya ‘kan, Sahabat? Tapi kuberi tahu, _saking_ seringnya berdebat yang nyaris tak terdengar dari balik pintu ruang kantor kecilku, kami tampil di hadapan teman yang lain seolah tak ada masalah.

Dia tak punya ruang kantor, tapi tempatnya dimana-mana. Maklum saja, _wong_ namanya juga “genderuwo”. Namun jia tidak berdebat, kami justru merindukannya. Berantem yang membahagiakan, begitu kira-kira.

Sahabat, jemariku sudah lelah, maafkan aku. Semua ini karena kelas menulisku yang baru. Kau lanjutkan sendiri sajalah, siapa tahu akhir ceritanya lebih seru. Kalau pun tak ada akhir, itu juga tak kalah baik, lagi pula hujan juga sudah reda, tak seru lagi. Namun yang jelas, Sahabat boleh menyebut dia “gila”, sebagaimana anggapanku tentangnya.

 

Selasa, 29 Agustus 2017

Hadi Surya