Senjakala Sekolah Kita

Alexander Graham Bell, sang penemu ulung itu, dibesarkan pada era ketika sekolah lebih banyak melahirkan sarjana tinimbang ilmuwan. Sementara kita, hidup dalam zaman manakala sekolah lebih senang melahirkan golongan buruh. Sudah hampir setengah abad kondisi ini berlangsung sejak perseteruan sengit mazhab Wina & Frankfurt, namun kita tak jua sadar betapa sekolah hari ini di banyak negara, hanya dijadikan penopang industri. Abad Materialisme sungguh benar menggerus kemanusiaan kita. Dalam banyak sendi kehidupan, kita melulu terjebak pada formalitas belaka. Tak pernah menjeluk ke ranah makna.

Sekolah Cerdik Cendekia kami dirikan, demi melawan itu semua. Tak ada kurikulum. Tak ada seragam, dan penyeragaman. Kurikulum yang tak pernah jelas itu, hanya membuat pusing kepala murid dan juga dewan guru, serta memperkaya para pengambil kebijakan dengan proyek pegadaan buku–yang entah kenapa selalu tak pernah ajeg. Padahal tanpa kurikulum yang “jelas”, pondok pesantren terus melahirkan generasi unggul dan guru manusia untuk bangsa ini.

Maka demi mencanangkan perlawanan itu, para guru Cerdik Cendekia bebas bereksperimen dengan para murid–sambil mengasuh anaknya. Hari ketiga ini, kami mengajak mereka belajar mengenali potensi diri dan bakat kepemimpinannya, mendaras al-Quran, bahasa Inggris, dan teknologi (melalui pengenalan komputer). Ruang belajar mereka pun tak hanya dibatasi tembok sekolah. Jika akar kata sekolah dalam Latin adalah skhole, scola, scolae, skhola, yang berarti waktu senggang dan bermain, maka sudah seharusnya para murid tidak diganggu waktu bermainnya–meski saat bersamaan mereka berada dalam kondisi belajar. []